Ashhâbus sabti
Bani Israel adalah salah satu umat terdahulu yang paling banyak di bicarakan di dalam al-Qur’an dengan berbagai sikap dan karakter mereka. Sebagian besar pembicaraan al-Qur’an tentang mereka adalah terkait dengan pembangkangan mereka terhadap aturan Allah serta azab dan murka-Nya yang mereka terima. Di antara pembicaraan al-Qur’an tentang mereka adalah cerita ashhâbus sabti (orang-orang yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu). Cerita tersebut terdapat dalam surat al-A’raf [7]: 163-165
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(163)وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ(164)فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ(165)
Artinya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik (163). Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa" (164). Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik (165).”
Diceritakan, bahwa Allah swt. menetapkan bagi bani Israel hari Sabtu sebagai hari suci. Pada hari itu, semua umat dari bani Israel tidak boleh melakukan pekerjaan dan aktifitas apapun, selain beribadah kepada Allah. Namun demikian, hari Sabtu yang telah dikhususkan untuk beribadah tersebut bukanlah hari yang mudah dan menyenangkan bagi bani Israel, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Pada hari suci itu, ternyata hari di mana ikan-ikan yang sangat besar dalam jumlah yang sangat banyak bermain ke pantai dan sangat jinak sekali. Sementara, pada hari lain selain hari Sabtu, tidak satupun ikan yang bermain di pantai. Sehingga, untuk mendapatkan ikan mereka harus bersusah payah ke tengah lautan luas.
Mereka tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukan larangan Allah menangkap ikan pada hari itu. Akhirnya mereka memasang jaring di sekitar pantai pada hari Jum’at sebagai bentuk strategi agar tidak disebut melanggar aturan Allah. Mereka membiarkan ikan-ikan tersebut terperangkap pada hari Sabtu dan menangkapnya pada hari Minggu. Namun demikian, mereka tetap dianggap melakukan larangan Tuhan. Sebab, cara yang demikian adalah bentuk dari akal licik mereka semata.
Menurut sebuah riwayat, bahwa di negeri itu terdapat tiga kelompok manusia. Kelompok pertama adalah yang melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah, yaitu menangkap ikan pada hari yang dilarang. Kelompok kedua adalah yang menegakan amar ma’ruf dan melarang dari kemunkaran. Mereka memberi nasehat dan peringatan kepada yang melanggar atauran Allah tersebut, sekalipun tidak dihiraukan oleh para pembangkang. Kelompok terakhir adalah yang memilih sikap apatis dan tidak mau tahu dengan keadaan di sekitar. Mereka tidaka ikut melakukan perbuatan dosa, namun tidak pula memberikan peringatan. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri di suatu tempat dan beribadah kepada Allah.
Ketika Allah mendatangkan siksanya kepada orang kelompok yang melakukan pelanggaran itu, Allah memerintahakan kelompok yang menegakkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran untuk menyingkir dari daerah tersebut, sehingga mereka selamat dari siksa Allah. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk mendatangklan siksa kepada penduduk yang tinggal di daerah itu. Namun, ketika malaikkat datang ia melihat sekelompok orang di daerah itu yang mengasingkan diri beribadah dan berdo’a kepada Allah. Malaikatpun mengadu kepada Allah, “Ya Tuhan! Bagaiamana saya akan mendatangkan siksa kepada penduduk negeri itu, sementara masih ada yang beribadah dan berdo’a kepada Engkau?”. Allah swt. menjawab, “Engkau mulailah dari mereka!”.
Dalam surat al-Baqarah [2]: 65-66, Allah swt menyebutkan bentuk siksa kepada mereka dengan dirobahnya wujud mereka menjadai kera.
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ(65)فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ(66)
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina" (65). Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (66).”
Begitu juga dalam surat al-Ma’idah [5]: 60
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Artinya: “Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”
Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa wujud kera yang disebutkan, bukanlah dalam bentuk dirobahnya wujud mereka dari manusia menjadi kera. Akan tetapi, ungkapan itu adalah bentuk kiasan tentang sikap orang Yahudi (bani Israel) yang mirip dengan sifat kera.
Terlepas dari konstroversi penfsiran ayat di atas, yang menarik untuk dicermati adalah kenapa Allah swt. memilih binatang kera untuk dijadikan objek ketika berbicara masyarakat Yahudi yang melanggar aturan Allah? Apa sifat kera yang mereka miliki?
Setidaknya ada tiga bentuk sikap buruk kera yang dimiliki oleh masyrakat Yahudi, dan semestinya tidak dimiliki oleh umat Islam.
Pertama, seekor kera adalah makhluk yang baru mau bergerak melakukan sesuatu yang diperintahkan tuannya, jika sudah dihardik, diteriaki, dipukul atau dicambuk. Seekor kera akan selalu bermain dengan perintah tuannya, sehingga tuannya melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Begitulah sikap masyarakat Yahudi, yang baru percaya dengan azab Tuhan jika sudah ditimpakan kepada mereka. Mereka baru mau mengerjakan kebaikan jika sudah diperlihatkan azab kepada mereka atau diberikan sanksi yang berat. Tidak jarang ketika datang peringatan, mereka tidak peduli bahkan membunuh para nabi dan pemberi peringatan.
Inilah sikap yang semestinya tridak dimiliki oleh umat Islam. Umat Islam adalah umat yang tidak suka kekerasan. Salah satu ciri umat Muhammad adalah bahwa mereka bisa mengerti dan berbuat kebaikan serta melakukan suatu perintah dengan ungkapan yang lemah lembut. Berdasarkan karakter inilah, makanya Allah berpesan kepada nabi Muhammad saw. dalam surat Ali ‘Imran [3]: 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ…
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”
Oleh karena itulah, untuk perintah melaksankan ibadah, umat Islam diseru dengan ajakan yang lembut. Lihat misalnya panggilan azan “hayya ‘ala al-shalâh/marilah shalat”, bukannya kata perintah “shallû/shalatlah kamu!”. Begitu juga ajakan bangun untuk melaksanakan shalat “al-shalâtu khairum min al-naum/shalat lebih baik dari tidur”, bukannya kalimat perintah “istaiqizhû min al-naum/ bangunlah kamu dari tidur!”.
Begitulah ciri umat Muhammad saw. yang melakukan kebaikan atau melaksanakan perintah Tuhan tanpa harus dipaksa, diancam atau diberikan sanksi terlebih dahulu. Dengan ungkapan yang sederhana saja, mereka bisa mengerti dan berbuat.
Kedua, kera adalah makhluk yang paling suka mencemo’oh dan meremehkan yang lain. Lihatlah sikap seekor kera, yang tidak pernah bisa menghormati orang lain. Jika kita datang kepadanya dengan pakaian jelek, ia akan mencibirkan kita. Kalaupun kita datang kepadanya dengan memakai pakaian paling bagus dan mahal, iapun akan tetap mencibirkan kita. Jika yang datang anak kecil kepadanya, ia akan mencibirkannya. Bahkan, jika seorang presidenpun datang mendekati kera, ia juga akan tetap mecibirkannya. Dan yang lebih hebat lagi adalah, bahwa kera bukan hanya suka mencibir, namun juga menghadapkan “bokongnya” atau bagian pantatnya kepada siapapun yang datang kepadanya.
Begitulah sikap buruk masyarakat Yahudi yang pernah diperlihatkan oleh meraka sepanjang sejarah. Bukankah tidak ada seeorang nabipun yang datang kepada mereka, kecuali telah mereka maki dan cemo’oh, bahkan mereka buru dan bunuh. Bukankah mereka juga pernah memperolok nabi Musa as. ketika mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi?
Sejarah juga membuktikan, bahwa masyarakat Yahudi mengakui kebenaran Muahmmad dan rislahnya di dalam hati mereka masing-masing, karena itu termaktub di dalam kitab suci mereka. Namun, mereka menolak dan menentangnya disebabkan persoalan egisme semata. Mereka tidak bersedia mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasul, karena dia lahir dan muncul bukan dari golongan mereka. Nabi Muhammad lahir dari bangsa Arab yang dianggap sebagai bangsa rendah. Sebab, menurut mereka bangsa Arab adalah keturunan Isma’il anak seorang budak kulit hitam dari Mesir bernama Hajar. Semenatara, mereka adalah keturunan Ishaq anak dari isteri sah Ibrahim yang bernama Sarah. Ditambah lagi, bahwa selama ini para nabi dan rasul hanya muncul dari bagsa mereka. Perasaan inilah yang kemudian membuat mereka tidak mau mengakui kerasulan Muhammad dan menerima ajakan risalahnya, sekalipun hati mereka membenarkannya.
Begitulah sikap yang tidak semestinya dimiliki oleh umat Muhammad. Hendaklah mereka tidak mencemo’oh dan merendahkan orang lain. Karena, belum tentu mereka lebih baik dari orang yang direndahkan itu. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 11
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Ketiga, kera adalah binatang yang sangat rakus dan tamak. Jika seekor kera diberi makanan, maka ia tidak akan puas sebelum semua anggota tubuhnya diisi. Seekor kera akan memasukan makanan ke dalam perutnya, lalu mengisi penuh dua kantong yang ada dibagian lehernya, kemudian memegang dengan kedua tangan dan kakinya.
Begitulah sikap masyarakat Yahudi yang telah mereka tunjukan sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itulah, praktek rentenir dan “lintah darat” sangat subur di kalangan Yahudi, karena mereka tidak mengenal aturan riba. Sehingga, ayat-ayat yang berbicara tentang riba, turun pada periode Madinah, karena di Madinah praktek riba dan rentenir sangat subur di kalangan bangsa Yahudi. Begitu juga hari ini, kita saksikan betapa banker-banker ternama adalah orang-orang Yahudi. Mereka selalu menumpuk kekayaan dan harta dengan cara apapun termasuk meghisap darah orang lain atau bahkan menghancurkan ekonomi suatu bangsa.
Sikap tamak dan rakus ini juga tidak semestinya menghinggapi umat Islam. Harta dan kekayaan adalah sesuatu yang tidak dilarang untuk dimiliki bahkan mesti dicari. Sehingga, harta dalam bahasa al-Qur’an disebut mâl yang secara harfiyah berarti cendrung. Namun, tentu harta mesti didapatkan dengan cara yang baik dan dipergunakan untuk kebaikanan pula. Oleh Karena itulah harta dalam istilah lain disebut dengan khair yang secara harfiyah berarti baik (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 180. Dengan demikian, Umat Islam tidak akan menghalalkan segala cara, demi menumpuk harta dan kekayaan untuk diri mereka. Kalaupun akhirnya mereka mendapatkan harta dan kekayaan, maka sebagianya mereka berikan kepada saudara mereka yang kurang beruntung.
Senin, 28 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar