Wasiat Setelah Ujian
Dalam surat al-Insyiqaq [84]: 16-19, Allah swt berfirman
فَلَا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ(16)وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ(17)وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ(18)لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ(19)
Artinya: “Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja (16). dan dengan malam dan apa yang diselubunginya(bintang-bintang) (17). dan dengan bulan apabila jadi purnama, (18). Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (19)”
Dalam ayat di atas, Allah swt. bersumpah dengan salah satu ciptaan-Nya yang bernama syafaq (waktu senja). Secara harfiyah, syafaq berarti cahaya merah yang terlihat di senja hari, ketika matahari terbenam. Cahaya merah itu terjadi, karena percampuran sisa cahaya matahari saat terbenam dengan awal kegelapan malam, atau dengan kata lain perpaduan antara akhir siang dan awal malam. Syafaq kemudian juga berarti rasa haru, yaitu perpaduan antara rasa senang dan sedih, rasa gembira dan takut serta rasa bahagia dan cemas.
Begitulah kondisi setiap orang ketika selesai menghadapi suatu ujian dan perjuangan panjang yang melelahkan. Mereka akan berada dalam kondisi seperti syafaq. Di satu sisi, mereka senang karena telah melewati masa yang sulit dan menakutkan, yaitu ujian. Namun di sisi lain, mereka masih dihantui rasa takut dan cemas akan hasil ujian tersebut. Di satu sisi, mereka gembira dan bahagia karena telah melewati masa-masa yang sulit dan panjang selama mengikuti proses belajar, namun disisi lain mereka bersedih kerena setelah itu akan berpisah dan meninggalkan sebagain orang yang dikasihi dan telah mendidik serta mengajar selama beberapa tahun lamanya.
Begitu juga dengan guru, mereka dihinggapi rasa bahagia dan cemas serta rasa gembira dan sedih. Di satu sisi, mereka berbahagia karena telah berhasil melaksanakan tugasnya, yaitu mendidik dengan baik. Namun, di sisi lain mereka dihinggapi rasa cemas dan takut akan hsil ujian anak didik mereka. Di satu sisi, mereka gembira akan keberhasilan anak didik mereka, namun di sisi lain mereka bersedih akan berpisah dengan orang yang telah mereka didik seperti anak sendiri selama beberapa tahun.
Akan tetapi, hal yang mesti disadari oleh semua kita baik murid maupun guru, bahwa munculnya syafaq adalah sebuah kemestian dan hukum Tuhan yang tidak akan bisa dirobah. Bahwa ada masa yang panjang dipenuhi oleh perjuangan dan pengorbanan sebagai suatu proses, dan akan ditutup dengan ujian sebagai tolak ukur keberhasilan proses itu. Dan akhirnya, semua itu akan bermuara pada perpindahnya manusia ke era dan periode baru dalam kehidupannya. Dengan berlalunya siang, muncullah syafaq sebagai tanda akan berpindah kepada “era malam”. Begitulah aturan alam ini dibuat Sang Pencipta.
Namun, ada hal yang mesti kita sadari akan maksud Allah menciptakan pergantian era tersebut. Dimana dalam ayat di atas, Allah swt. menyebutkan bahwa tujuan Allah mendatangkan syafaq agar bermunculan bintang gemintang yang menjadi petunjuk atau rembulan yang menjadi penerang dalam kegelapan. Siang diibaratkan kondisi di mana bintang dan bulan tertutup atau tersembunyi. Dengan datangnya syafaq, muncullah malam sebagai era baru, maka bintang-bintangpun bermunculan dan purnama juga kelihatan cahayanya. Jika saja syafaq tidak terjadi, tentulah malam juga tidak akan muncul dan bintang serta purnama akan tetap tertutup dan tersembunyi.
Hal itu berarti, bahwa setelah kita semua melewati suatu proses belajar yang panjang, lalu diberikan ujian untuk mengukur keberhasilan tersebut, maka diharapkan setelah itu akan bermunculan bintang-bintang yang menjadi petunjuk bagi yang lain atau rembulan yang menjadi penerang di tengah kegelapan. Maksudnya, setelah selesai melaksanakan suatu proses dan ujian ini, diharapkan semua kita menjadi bintang atau rembulan bagi orang lain. Kalaupun nanti kita berpindah ke era baru dan sekolah baru, maka kita harus menunjukan bahwa kita adalah bintang atau rembulan bagi orang di mana kita berada. Jika manusia telah melewati proses yang panjang dan selesai menempuh ujian, kemudian berpindah ke era dan tempat baru, namun belum mampu menjadi bintang atau rembulan bagi yang lain, maka tujuan dari datangnya “syafaq” tidaklah dia peroleh.
Seseorang yang telah melewati proses belajar yang lama dan telah menempuh serangkain ujian, maka seharusnya dia sudah menjadi teladan atau panutan bagi yang lain. Setidaknya bagi generasi sesudahnya yang belum menempuh proses yang telah dilaluinya. Begitulah tujuan Allah mendatangkan pertukaran era bagi mansuia, agar dia semakin “matang” dan menjadi contoh bagi yang generasi sesudahnya.
Memang untuk menjadi bintang dan rembulan bagi yang lain, manusia harus menempuh proses demi proses dan naik tingkat demi tingkat. Begitulah yang dipesankan Allah dalam ayat 19, seperti tertera dalam ayat di atas. Akan tetapi, ada beberap isyarat dari ungkapan ayat itu;
Pertama, bahwa Allah mengatakan, sekalipun proses sebuah keharusan, namun Allah menggunakan kata tarkabunna yang secara harfiyah berarti kamu akan naik. Oleh karena itu, untuk menjadi bintang dan rembulan, maka proses manusia itu harus berjalan ke arah kemajuan atau harus naik ke arah yang lebih baik. Proses yang dilului manusia itu tidak boleh bergerak mundur atau turun ke arah yang lebih buruk, bahkan untuk tetap pun tidak boleh. Sebab, bintang dan rembulan berada di atas atau di tempat yang tinggi. Bagaimana mungkin seseorang akan mencapai bintang dan rembulan, jika dia bergerak mundur atau turun.
Kedua, kata tarkabunna berarti kamu akan naik, bukannya Allah yang menaikkan. Hal itu menunjukan, bahwa untuk maju dan naik adalah pilihan dan usaha manusia. Oleh Karena itu, maju atau mundurnya prestasi manusia adalah pilihannya sendiri, karena Allah telah memberikan potensi yang sama kepada setiap orang untuk bisa naik menuju arah yang tinggi. Dan karena manusia sendiri yang naik, maka dia juga diberikan kekuatan untuk bisa naik lebih cepat atau naik perlahan-lahan. Bagi yang ingin naik dan sampai ke puncak lebih dulu, tentu dia akan bisa mencapainya dengan konsekwensi pengorbanan dan kepayahan yang berbeda dengan orang yang memilih santai, namun terlambat sampai di puncak. Banyak kita sakasikan dalam kehidupan ini, sekelompok orang yang memulai sesuatu secara bersamaan, namun kecepatan dan pencapaian “finish” mereka berbeda, sesuai kecepatan mereka mencapai puncak dan tujuan.
Ketiga, kata tarkabunna diungkapkan dalam bentuk kata kerja mudhari’ (masa sekarang dan akan datang). Hal itu menunjukan, bahwa proses yang dilalui manusia menuju arah yang lebih baik dan sempurna mestilah selalu dan selalu dilaksanakan. Manusia tidak boleh berhenti pada satu tahap dan satu titik tertentu, karena hidup diciptakan sengaja sebagai sarana manusia berproses. Akhir proses di dunia adalah kematian. Selama itu belum datang, maka manusia dituntut selalu memperbaiki kualitas dirinya ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Oleh karena itu, dalam menempuh proses belajar janganlah kita berhenti pada satu tahap tertentu. Setelah selesai SLTP, lanjutkan ke SLTA, kemudian S1, S2, S3 atau jika ada yang lebih tinggi dari itu. Jika harus berhenti sampai titik tertentu, jangan diapahami bahwa belajar prosesnya telah berakhir. Yang berahkir hanyalah jenjang pendidikan formal, namun pendidikan harus terus berlanjut sampai ajal datang dan manusia memasuki liang lahat. Begitulah hadist Rasulullah saw. mengingatkan umatnya. Semoga bisa kita renungkan bersama. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar