Wasiat Perkawinan
Salah satu dari tanda kebesaran Allah adalah, bahwa Dia menciptakan semua ciptaan-Nya secara berpasangan. Firman Allah dalam suarat adz-Dzariyat [51]: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Begitu Juga dalam surat Yasin [36]: 36
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُون
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”
Oleh karena itu, hidup berpasangan atau kecendrungan kepada lawan jenis adalah fithrah setiap makhluk termasuk manusia. Kecendrungan untuk hidup berpasangan memiliki berapa tujuan. Di antaranya adalah untuk terciptanya keseimbangan di alam ini, karena dengan hidup berpasangan terciptalah kondisi saling memberi dan menerima dan saling menutupi kekurungan dari salah satu pihak terhadap yang lain.
Namun, tujuan yang utama dari kecendrungan hidup berpasangan adalah, agar terjaminnya kelestarian dan kesinambungan hidup suatu jenis makhluk hidup, melalui hubungan yang dilakukan secara biologis. Tanpa adanya pasangan, mungkin keberadaan manusia sudah punah dari permukaan bumi, begitu juga makhluk yang lain.
Akan tetapi, manusia sebagai makhluk paling sempurna menempuh cara yang berbeda dalam mewujudkan hidup berpasangan dari cara yang ditempuh makhluk Allah yang lain. Manusia mewujudkan fitrah hidup berpasangan melalui ikatan yang sah, dan di atur secara syar’i dalam bentuk aqad perkawinan.
Dalam al-Qur’an, perkawinan tidak hanya bertujuan biologis saja, namun lebih jauh agar setiap manusia memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin. Seperti firman Allah dalam surat ar-Rum [30]: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ayat di atas, berbicara tentang tujuan perkawinan, yaitu untuk memperoleh sakînah (ketenangan). Kata taskunu berarti tenang setelah meronta. Dari akar kata yang sama, muncul kata sikkin yang berarti pisau, karena pisau biasanya dipakai untuk menenangkan binatang setelah meronta melalui penyembelihan. Oleh karena itu, pernikahan bukan saja bertujuan biologis, tetapi juga bertujuan memperoleh kebahagian berupa ketenangan batin
Di samping itu, ayat di atas juga berbicara tentang landasan atau dasar perkawinan, yaitu pertama mawaddah yang berarti rasa ingin, mendambakan, mengharap dan sebagainya. Kata mawaddah lebih kepada arti keinginan dalam bentuk fisik. Adalah fithrah manusia bahwa setiap laki-laki mendambakan kehadiran seorang wanita di sampingnya, begitupun sebaliknya. Namun demikian, mawaddah bisa habis dan hilang seiring berlalunya waktu dan bertambahnya usia. Sebab, manusia bila berumur panjang kecantikan dan keindahan fisik akan lenyap dan berkemungkinan mawaddah bisa juga lenyap. Akan tetapi, masih ada landasan kedua yang akan menjamin ikatan perkawinan tetap utuh, yaitu rahmah yang berarti kasih sayang. Ketika seseorang menikah atas dasar kecantikan dan keindahan, maka begitu kecantikan itu berangsur pudar ikatan pernikahanpun akan redup, surut dan akhirnya putus. Sedangkan, bagi yang melandasi perkawinan dengan rahmah, maka sekalipun sudah “nenek-nenek” dan “peot”, cinta dan kemesraan mereka tidak akan pudar karenanya.
Adapun landasan pernikahan yang lain adalah amânah (saling percaya). Sebab, aqad perkawinan di satu sisi melebihi ikatan seorang anak dan orang tua, karena bagi suami istri tidak ada yang tersembunyi dari keduanya. Sementara terhadap orang tua, ada hal-hal yang disembunyikan seorang anak. Dalam surat al-Baqarah [2]: 187, Allah swt berfirman “ Mereka isteri-isterimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.
Karena begitu hebatnya ikatan perkawinan, Allah swt menyebutnya dengan istilah mitsâq ghalîzha (Perjanjian yang maha berat). Seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Dalam al-Qur’an kata mitsâqan ghalîzha, Allah sebutkan sebanyak tiga kali. Pertama, untuk menyebut perjanjian Allah swt dengan para nabi-Nya. Seperti dalam surat al-Ahzab [33]: 7
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang maha berat.”
Kedua, kata mitsâqan ghalîzha Allah sebutkan ketika menceritakan perjanjian-Nya dengan bani Israel. Seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 154
وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: “Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula), kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”
Dan ketiga, kata mitsâqan ghalizha Allah pakai untuk menyebutkan perjanjian, dalam bentuk aqad nikah seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 21 di atas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan aqad nikah berpeluang memperoleh posisi seperti para nabi dan utusan Allah yang mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya, jika ikatan pernikahan itu terjaga, dan masing-masing dari yang beraqad memenuhi janjinya, seperti para nabi yang selalu memenuhi janji kepada Allah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan aqad nikah berpotensi dan berpeluang seperti bani Israel, yang mendapat kemurkaan Allah swt, jika mereka tidak mampu memenuhi janjinya dan memelihara perjanjian tersebut, seperti bani Israel yang selalu mengingkari perjanjian mereka.
Oleh karena itu, selayaknyalah kedua orang yang melakukan aqad nikah menjaga tali perkawianan tersebut, agar mendapatkan kehormatan di sisi Allah seperti para nabi. Jangan menjadi orang yang dibenci Allah seperti bani Israel, karena memutuskan tali perkawinan yang merupakan aqad suci dan berat tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar