Sikap Seorang Alim Terhadap
Ilmu Yang Dimilikinya
Nabi Sulaiman as. adalah seorang nabi dan rasul Allah swt. yang diberikan karunia yang sangat banyak. Di antara karunia dan kelebihan yang diberikan kepada nabi Sulaiman as. adalah bahwa Allah memberikan ilmu yang luas kepadanya. Dengan ilmu yang dimiliki tersebut, dia berhasil membangun sebuah imperium besar. Allah swt juga memberikan ilmu kepadanya untuk bisa mengerti dan berbicara dengan bahasa binatang. Di bawah kekuasaanya tidak hanya manusia yang tunduk namun juga makhluk lain seperti binatang, jin dan angin. Tentang kisah Sulaiman as. dan kekuasaanya serta sikapnya sebagai seorang alim yang bijaksana, Allah menceritakannya dalam surat an-Naml [27]: 15-44.
Dari kisah nabi Sulaiman as. yang diceritakan Allah swt dalam ayat tersebut, dapat diambil pelajaran tentang bagaiman sikap seorang alim terhadap ilmu yang dimilikinya. Di antara sikap seorang alim yang digambarkan oleh nabi Sulaiman as. adalah:
1. Selalu bersyukur kepada Allah terhadap ilmu yang dimiliki, karena seorang yang berilmu menyadari sepenuhnya bahwa ilmu tersebut adalah karunia Allah terhadapnya. Sikap tersebut ditunjukan dalam ayat 15.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman.”
Dengan menyadari bahwa ilmu yang dimiliki adalah karunia Tuhan, maka seorang yang berilmu tidak akan pernah sombong, angkuh, takabbur atau merendahkan orang lain karena ilmunya. Seorang alim harus bersyukur karena dialah yang menjadi pilihan Allah untuk diangkat derajatnya berkat ilmu yang dimilikinya. Bukankah semua orang diberikan kesempatan dan potensi yang sama untuk mendapatkan ilmu? Namun, kenapa tidak semua orang menguasai ilmu terebut?. Hal itu berarti bahwa Allah juga memilih orang tertentu untuk menjadi orang yang menguasai suatu ilmu. Begitulah juga yang dipesankan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
2. Seorang alim harus menyadari bahwa dia seorang yang memiliki ilmu, sehingga memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16.
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak terkesan kalau dia menutupi ilmu yang diberikan kepadanya.
Begitulah tanggung jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk, sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah kelompok terakhir.
3. Selalu berdo’a kepada Allah swt. Agar diberi petunjuk agar bisa selalu bersyukur atas karunia ilmu tersebut, serta berdo’a kepada-Nya agar selalu diberi kekuatan untuk mengamalkan ilmu yang dimiliki. Itulah yang digambarkan oleh nabi Sulaiaman as. dalam ayat 19.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.
Ilmu sebagai karunia Tuhan adalah sesuatu yang akan diminta pertanggungjawabannya nanti di akhirat, termasuk apakah ia diamalkan atau tidak. Sehingga bersyukur terhadap ilmu tidak cukup dengan lidah dan mengajarkannya kepada orang lain, namun seseorang dituntut untuk mengamalkan ilmu tersebut dengan sempurna. Oleh karena itu, seorang yang memiliki ilmu hendaklah selalu berupaya mengamalkan ilmunya dengan sempurna, dan jika belum sempurna dia harus selalu berdo’a kepada Allah agar diberikan petunjuk serta kekuatan untuk mampu mengamalkan ilmu tersebut. Sehingga kalaupun dia belum sempat mengamalkan semua ilmunya, hal itu bukanlah atas dasar kesalahan dan kelalaiannya namun dikarenakan ketidakmampuan serta kelemahannya. Sehingga dia terhindar dari tuntutan pertanggungjawaban atas ilmu tersebut.
4. Seorang alim harus menyadari bahwa betapa banyak dan luas pengetahuannya, masih banyak yang belum diketahui dan mungkin saja pengetahuan itu ada pada orang lain yang kedudukannya lebih rendah daripadanya. Sehinga sikap yang demikian akan mengantarkan seseorang akan sikap tawadhu’ dan menghargai orang lain, serta mau belajar kepada orang yang sekalipun kedudukannya lebih rendah darinya. Sikap itulah yang ditunjukan nabi Sulaiman as. dalam ayat 22-23.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ(22)إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ(23)
Artinya: “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini (22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (23).”
Pada ayat sebelumnya nabi Sulaiaman as. telah mengatakan bahwa dia telah diajarkan ilmu yang banyak, diberikan kekuasaan yang sempurna bahkan mampu memahami bahasa makhluk lain selain mamnusia. Akan tetapi, salah seorang tentaranya; burung hud-hud dengan lantang mengatakan “…Aku mengetahui apa yang belum engkau ketahui…”. Hal itu membuktikan bahwa tidak semuanya yang dapat diketahui manusia, bahkan oleh seorang nabi yang diberi wahyu sekalipun karena ada hal-hal tertentu yang dia tidak mengetahuinya. Itulah yang ditegasklam Allah dalam surat al-Isra’ [17]: 85
….وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: “…dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sangat sedikit sekali.”
5. Bersikap hati-hati dan tidak menerima sebuah informasi atau berita begitu saja. Seorang alim harus melakukan penyelidikan terhadap suatu pernyataan, teori atau berita sebelum diterima sebagai kebenaran. Seorang alim jauh dari sikap taqlid; menerima sesuatu tanpa keinginan atau usaha mencari tahu hakikatnya. Begitulah sikap yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. seperti dalam ayat 27-28
قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ(27)اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ(28)
Artinya: “Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta (27). Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan(28)”.
6. Seorang alim selalu berupaya menghindarkan diri dari segala bentuk sogokan. Dia harus berpendirian kokoh dan tidak mudah terpengaruh oleh “iming-iming” harta, jabatan dan sebagainya. Sebab, jika seorang alim sudah menerima sogokan maka dia akan jauh dari kebenaran serta tidak berani berjuang dan mengatakan kebenaran sesuai ilmu yang dimilikinya. Hal itu digambarkan dari sikap nabi Sulaiaman yang menolak hadiah dari utusan ratu Balqis agar Sulaiaman mengurungkan niatnya untuk menyerang negerinya karena tidak mau tunduk dan memeluk ajaran tauhid. Seperti firman Allah dalam ayat 36-37.
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا ءَاتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا ءَاتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ(36)ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ(37)
Artinya: “Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu(36). Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina(37).”
Namun demikian, alangkah lebih baiknya jika seorang alim bukan hanya menjauhkan diri dari menerima sogokan, akan tetapi juga dari segala bentuk jabatan politis yang diberikan penguasa. Seorang alim sebaiknya harus konsentrasi dalam bidang pendidikan demi mencerdaskan manusia. Dalam pandangan Allah dan manusia tidak ada kedudukan yang lebih terhormat daripada menjadi seorang yang mengajarkan ilmu. Bukankah dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda “Sebaik-baik kamu adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain”.
Bila seorang alim sudah disibukan dengan jabatan, maka dikhawatirkan dia akan kehilangan fungsinya sebagai pewaris para nabi yang akan mengajarkan manusia kebenaran. Inilah sikap yang pernah ditunjukan oleh beberapa ulama terdahulu seprti Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang seringkali keluar masuk penjara karena menolak jabatan yang ditawarkan para penguasa kepada mereka.
7. Seorang alim sekalipun dia mampu melakukan banyak hal dan memiliki pengetahuan yang luas, namun dia tetap memberikan kesempatan dan penghargaan kepada orang lain untuk ikut dalam mengabdikan pengetahuannya. Itulah hal yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. yang memberikan kesempatan kepada bawahannya mengangkat istana ratu Balqis dari Yaman ke Palestina. Namun demikian, nabi Sulaiman as. memberikan sebuah contoh bahwa memang yang terbaik harus diberikan kesempatan dan penghargaan yang lebih dari yang lain. Begitulah isyarat yang terdapat dalam ayat 38-40
قَالَ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ(38)قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ(39)قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ(40)
Artinya: “Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri(38). Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya(39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia(40)”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Apa pesan atau pelajaran moral utama yang dapat diambil dari sikap dan tindakan Nabi Sulaiman as. terhadap ilmu yang diberikan kepadanya?
Bagaimana konsep tanggung jawab moral seorang alim terhadap ilmu yang dimilikinya dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari?
Posting Komentar