Imam Pemimpin Yang Penuh Teladan
Dalam surat al-Baqarah [2]: 124, Allah swt berfirman
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”
Ayat di atas menceritakan tentang nabi Ibraim as. yang diangkat oleh Allah menjadi imâm (pemimpin) manusia setelah selesai menjalankan semua ujian yang diberikan kepadanya. Kita tahu betapa banyak ujian yang diberikan oleh Allah swt kepada nabi Ibarahim as. diantaranya harus mengajak ayahnya, kaumnya, dan raja Namrud untuk bertauhid kepada Allah dan ajakan itu disambut kaumnya dengan membakarnya, bahkan ayahnya mengusirnya dari rumah. Kemudian, setelah menikah Ibrahim harus menunggu waktu yang sangat lama untuk bisa memperoleh keturunan. Diriwayatkan bahwa beliau memperoleh keturunan setelah berumur lebih dari 80 tahun. Setelah isterinya hamil dan saat akan melahirkan, Ibrahim disuruh mengantarkan isterinya di tempat yang tidak berpenghuni di padang pasir, sehingga dia tidak sempat melihat dan menyambut kelahiran anak yang sudah lama ditunggunya. Setelah anaknya menganjak dewasa, Allah menyuruh mengorbankannya atau menyembelih anak tersebut. Masih banyak lagi bentuk ujian yang deberikan kepada Ibrahim. Namun semua ujian itu diselesaikan oleh Ibrahim dengan sempurna sehingga Allah mengangkatnya menjadi imâm (pemimpin).
Ada hal yang menarik untuk deperhatikan dalam ungkapan ayat di atas, di mana Allah swt mengangkat Ibrahim menjadi pemimpin manusia dalam bentuk imâm. Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang juga berarti pemimpin, seperti Qâ'id, ra'îs, amîr, walî dan lain-lain. Allah swt menggunakan kata imâm untuk kepemimpinan yang diberikan kepada Ibrahim, tentu punya maksud yang besar.
Secara harfiyah, kata imâm berasal dari kata أم- يؤم berarti “terjuju kepada sesutau, teladan” dan yang semakna dengan itu. Dari akar kata ini lahir kata umm yang berarti ibu. Ibu disebut umm karena ibu biasanya menjadi teladan bagi anak-anak, atau anak anak biasanya lebih tertuju kepada ibu baik sifat, karakter, gaya dan sebagainya daripada kepada bapak. Makanya bila seorang anak harus memilih antara ibu atau bapak tentulah anak-anak akan memilih ibu mereka.
Dengan demikian, kepemimpinan yang berbentuk imâm adalah kepemimpinan yang penuh dengan keteladan sehingga menjadi ikutan dan tumpuan harapan banyak orang. Penamaan imâm kepada Ibrahim as. telah membuktikan bahwa Ibrahim adalah teladan dan ikutan manusia sepanjang zaman.
Oleh karena itu, pemimpin yang paling ideal untuk umat manusia menurut al-Qur'an adalah pemimpin yang menjadi imâm, menjadi teladan dan ikutan serta acuan manusia. Bukankah Allah swt mengatakan bahwa salah satu ciri hamba-Nya adalah orang yang selalu berdo'a ;
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang berdo’a "Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami isteri dan keturunan yang menjadi penyejuk mata dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa” (Q.S, al-Furqan[25]: 74).
Untuk memahami pemimpin yang berbentuk imam ini, menarik menyimak sebuah kisah yang terdapat dalam kitab kalilah wa dimna, yang ditulis oleh seorang pujangga Islam terkemuka di awal kekuasaan dinasti Abbasiyah Ibn al-Muqaffa'. Buku ini adalah sentilan kepada para pemguasa dan di dalamnya terdapat banyak kisah simbolik yang mengambil tokoh berbagai macam binatang. Salah satunya berjudul “Kisah burung dara dan seekor tikus”.
Dikisahkan sekelompok burung dara yang berjumlah ratusan ekor atau bahkan ribuan selalu terbang melintasi sebuah daerah. Ternyata selama ini, ada seorang pemburu yang setiap hari memperhatikan rute terbangnya gerombolan burung dara tersebut. Suatu hari, pemburu itu memasang umpan dan jerat di sebuah lokasi tempat melintasnya gerombolan burung dara. Tidak lama kemudian, gerombolan burung darapun terbang melintasai kawasan yang sudah dipasang jerat oleh pemburu tadi. Beberapa ekor burung dara ternyata melihat umpan yang ditaburkan oleh pemburu, sehingga mereka berteriak "Itu ada makanan dibawah, marilah kita turun!". Ternyata gerombolan burung dara itu memiliki raja yang memimipin mereka. Raja burung itu mengingatkan agar berhati-hati karena bisa saja itu jebakan. Ternyata dugaan raja burung tidak melesat, karena setelah semua mereka turun pemburu langsung menarik jeratnya hingga semua burung dara terjerat di jeratnya sang pemburu. Semua mereka meronta melepaskan diri dari jerat yang mengikat mereka, namun usaha mereka sia-sia saja. Akhirnya raja burung mengingatkan akan kebersamaan seraya berkata “Wahai saudara-saudaraku! bila masing-masing kita berjuang sendiri-sendiri, maka saya yakin semua kita akan celaka, marilah kita semua bersatu, kita kumpulkan semua kekuatan yang kita miliki, saya akan menghitung sampai tiga kali dan hitungan ketiga kita terbang secara serentak sehingga jerat ini bisa kita terbangkan”. Sesuai dengan instruksi raja burung dara semuanya secara serempak terbang dan menghasilkan kekuatan yang sangat besar, hingga jerat sang pemburu tercabut dan dibawa terbang oleh gerombolan burung dara.
Sang pemburu tenyata mengikuti arah terbangnya gerombolan burung dara, karena dia yakin nanti burung itu akan letih dan akan jatuh secara bersamaan. Raja burung dara mengetahui bahwa mereka diikuti, kemudian memerintahkan kawan-kawanya sambil berkata "Marilah kita terbang ke balik bukit itu, karena saya yakin pemburu itu tidak akan bisa mendakinya dan di balik bukit itu ada teman saya seekor tikus, marilah kita ke sana untuk meminta bantuannya melepaskan kita semua dari ikatan jerat ini”. Atas saran raja mereka, semua burung dara mengikutinya hingga sampailah mereka di balik bukit yang ditunjukan oleh raja mereka dan turunlah mereka di depan lobang tikus; sahabat raja burung dara itu. Raja burung dara berseru memanggil temannya tikus. Tak lama kemudian keluarlah tikus sahabatnya sambil bertanya keheranan "Apa yang terjadi sahabatku? Kenapa kakimu terjerat?". Raja burung menjelaskan peristiwa yang telah mereka alami dan berkata "Itulah maksud kedatangan saya dan teman-teman saya, meminta bantuanmu". Sang tikus lalu bergegas menuju kaki raja burung dara sahabatnya itu dan bermaksud melepaskan ikatan tali dari kakinya. Namun raja burung itu mengelak sambil berkata "Jangan saya yang engkau tolong terlebih dahulu, tetapi lepaskanlah tali ini dari kaki kawan-kawanku". Tikus menjadi heran dan bertanya "Ada apa denganmu? Bukankah engkau perlu bantuan?". Raja burung menjawab " Betul, saya perlu bantuanmu, tapi bila saya yang engkau tolong terlebih dahulu, saya khawatir karena jumlah kami banyak, engkau akan kehabisan tenaga sebelum semua kami engkau lepaskan dari ikatan ini. Dan mungkin engkau akan berhenti dan membiarkan mereka terjerat, karena antara engkau dan mereka tidak ada ikatan apa-apa, engkau hanya bersahat denganku. Nemun, bila aku yang engkau bebaskan terakhir, walaupun engkau mengalami kelelahan dan kepayahan disaat engkau melepaskan ikatan ini, namun ketika engkau masih melihatku terjerat, engkau pasti merasa kasihan dan akan tetap bersemangat serta tidak akan berhenti sampai semuanya bisa lepas dari ikatan ini". Sang tikus merasa sangat kagum dengan sikap temannya sebagai raja, terhadap bawahan dan rakyatnya.
Begitulah hendaknya sikap seorang pimpinan (imâm) yang baik dan menjadi tumpuan serta teladan bagi pengikutnya. Suatu ketika Umar bin Khattab pernah berkata "Bilamana umat ini ditimpa kelaparan, biarlah saya yang pertama merasakan lapar itu. Namun, bilamana umat ini merasa kekenyangan biarlah saya orang terakhir yang merasakan kenyang itu". Itulah bentuk seorang imâm yang selalu mengedepankan kebaikan dan kemashlahatan rakyatnya bukan kebaikan dan kemashlahatannya sendiri.
Namun demikian, untuk menjadi seorang imâm tentu bukanlah hal yang mudah. Sebab dalam ayat 124 tadi diceritakan Allah, bahwa Ibrahim a.s baru diangkat menjadi imâm setelah melewati serangkaian ujian yang begitu banyak dan semua ujian diselesaikan dengan sempurna. Artinya, kepemimpinan dalam bentuk imâm diperoleh melalui serangkaian ujian kelayakan atau atas dasar prestasi dan kemampuan, tidak melalui warisan atau garis keturunan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar