Membangun Keluarga Sakinah
Allah swt. telah memberikan fitrah kepada setiap makhluk untuk membangun tempat tinggal sebagai tempat berlindung dan memperoleh kanyamanan dan ketenangan. Jika pada binatang tempat tinggal yang mereka bangun disebut sarang, maka manusia menyebutnya dengan istilah rumah. Di dalam al-Qur’an Allah swt. menyebut rumah dengan dua istilah. Pertama, disebut dengan bait seperti yang terdapat dalam surat an-Nahl [16]: 68
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Bait secara harfiyah berarti tempat bermalam. Rumah disebut bait, karena memang berfungsi bagi pemiliknya untuk tempat bermalam dan beristirahat dari kesibukan. Hal ini juga sama seperti yang dilakukan binatang, seumpama burung yang kembali ke sarangnya di sore hari untuk bermalam dan beristirahat. Di samping itu, rumah dalam bentuk bait juga berfungsi melindungi pemiliknya dari berbagai gangguan luar, seperti panas, dingin, dan serangan makhluk lain. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 125
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا...
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…”
Kedua, Allah swt menyebut rumah dengan istilah maskan. Seperti yang terdapat dalam surat an-Naml [27]: 18
حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَاأَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
Dalam surat at-Taubah [9]: 72 Allah swt juga berfirman
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat (rumah-rumah) yang bagus di syurga `Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”
Kata maskan berasal dari kata sakana yang berarti tenang, tentram, dan bahagia. Oleh karena itu, rumah dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai tempat bermalam, tempat beristirahat atau tempat berlindung. Tetapi lebih jauh, rumah berfungsi sebagai tempat mencari ketenangan dan kebahagian batin. Di dalam rumah (maskan) inilah manusia membangun keluarga sakinah, yaitu tatanan keluarga yang membawa kebahagian dan ketenangan hati.
Jika rumah hanya dijadikan bait, maka tidak jarang rumah dirasakan seperti di neraka. Itulah yang digambarkan Tuhan dalam surat al-Ankabut [29]: 41
...وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “…Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah (rapuh) adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
Rumah laba-laba bukan hanya rapuh secara struktur, karena tidak mampu melindungi penghuninya dari segala macam gangguan luar seperti panas, dingin dan sebagainya. Namun, rumah laba-laba juga rapuh dari sisi penghuninya. Hasil penelitian membuktikan, bahwa laba-laba betina setelah melakukan perkawinan langsung membunuh laba-laba jantan. Begitu juga anak laba-laba, berjumlah sangat banyak namun diletakan dalam wadah yang kecil dan sempit, sehingga seluruh anaknya terlibat saling injak dan saling tindas, yang menyebabkan lebih separuh anaknya mati karena pertarungan sesamanya. Begitulah perumpamaan rumah yang rapuh, jauh dari kebahagian dan ketenangan.
Lalu bagaimana upaya manusia menjadikan rumahnya sebagai maskan (tempat mencari ketenangan dan ketentraman batin)? Dan bagaimana membangun kelurga yang sakinah di dalam rumah (maskan) tersebut?
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan petunjuk kepada umatnya tentang bagaimana membangun keluraga yang sakinah. Sehingga, rumah benar-benar menjadi tempat tinggal seperti sorga bagi setiap pemiliknya, yang sekiranya mereka telah berada di dalamnya, mereka enggan untuk keluar. Dan jika mereka berada di luar rumah, mereka ingin secepatnya kembali ke dalamnya. Adapun cara membangun keluraga sakinah adalah;
1. Mulai dari memilih jodoh
Di mana Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk kepada umatnya yang akan menikah agar memprioritaskan agama sebagai landasan membangun rumah tangga. Sekalipun ada beberapa kriteria, seperti kecantikan, kekayaan, kedudukan yang terhormat, namun Rasulullah saw. menegaskan akan keberuntungan orang yang memilih agama sebagai kriteria memilih jodohnya.
Lalu kenapa harus agama yang menjadi landasan utama dalam memilih jodoh? Alasannya adalah, bahwa membangun kelaurga bukan hanya sekedar untuk menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram. Namun, perkawinan adalah akad suci yang bukan hanya untuk di dunia, bahkan juga di akhirat. Kedua yang berakad akan diminta pertangungjawabannya terhadap segala sesuatu yang terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing, termasuk anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan mereka. Tentu saja perkawianan atas dasar agamalah yang bisa memberikan pertanggungjawaban tersebut. Bagaimana mungkin seorang suami atau isteri akan mengerti hak dan tanggung jawab masing-masing dengan baik, jika keduanya tidak memahami agama dengan baik dan benar.
Alasan yang lain adalah, bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk memelihara diri dan kelurganya dari siksa api nereka. Bagaimana mungkin seorang ayah atau seorang ibu yang tidak mengenal ajaran agama dengan baik bisa menjaga kelurganya dari siksa api nereka. Jangankan untuk menjaga keluarga, diri sendiri saja tidak mungkin mampu dijaganya. Begitulah yang disebutkan dalam surat at-Tahrim [66]: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Oleh karena itulah, Allah swt. mengingatkan manusia yang akan menikah dengan peringatan yang sangat tegas dalam urusan memilih jodoh ini. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
2. Saling percaya dan saling menutupi kekurangan yang lain
Ikatan sepasang suami isteri dalam rumah tangga pada prinsipnya melebihi ikatan antara orang tua dengan anaknya. Sebab, bagi sepasang suami isteri tidak boleh ada yang tersembunyi sedikitpun. Sementara, antara orang tua dan anaknya masih ada hal-hal tertentu yang disembunyikan, di mana salah satu tidak boleh mengetahui yang lain. Di sinilah dituntutnya landasana amanah (saling percaya) dalam membangun rumah tangga, agar tercapai kelurga yang sakinah. Masing-masing juga harus menjaga rahasia yang lain, serta menutupi kekurangan dan aib yang lain. Tidak boleh seorang suami membeberkan kekurangan isterinya kepada orang lain, begitupun sebaliknya. Sehingga, Allah swt. mengumpamakan sepasang suami isteri dengan pakaian bagi yang lain. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 187
…هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ…
Artinya: “Mereka isteri-isterimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.
Saking berat dan hebatnya akad perkawinan ini, sehingga Allah swt. menyebutnya sebagai mitsâq ghalîzha (perjanjian yang teramat berat). Seperti yang disebutkan dalam surat an-Nisa’ [4]: 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Di dalam al-Qur’an, kata mitsâq ghalîzha hanya tiga kali disebutkan oleh Allah swt. Pertama, untuk menyebutkan janji Allah dengan para nabi dan rasul-Nya, seperti dalam surat al-Ahzab [33]: 7. Kedua, untuk menyebutkan perjanjian Allah swt dengan bani Israel, seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 154. Dan ketiga, untuk menyebutkan akad perkawian seperti disebutkan di atas. Hal itu berarti, bahwa sepasang suami isteri yang mengikat tali perkawinan berpeluang memiliki kedudukan seperti nabi dan rasul di hadapan Allah, jika saja keduanya mampu menjaga akad dan memenuhi janji perkawinan tersebut. Sama halnya dengan para nabi yang selalu memenuhi janji mereka dengan Allah. Akan tetapi, keduanya juga berpeluang seperti bani Israel yang mendapat murka Allah, jika keduanya tidak mampu menjaga akad dan janji perkawinan itu. Sama seperti bani Israel yang selalu menyalahi janji mereka dengan Allah.
3. Saling menjaga hak dan kewajiban
Untuk terciptanya keharmonisan, ketentraman dan kebahagian hidup berumah tangga, perlu masing-masing dari suami isteri memahami hak dan kewajiaban mereka. Di samping itu, keduanya harus meletakan pemahaman tentang hak dan kewajiaban itu secara benar dan proporsional. Sebab, persoalan dan kemelut rumah tangga, seringkali terjadi karena masing-masing tidak mampu meletakkan hak dan kewajiban secara benar dan proporsional.
a. Kewajiban suami/hak isteri
- Memberikan nafkah berupa tempat tinggal yang layak dan belanja kebutahan pokok. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ath-Thalaq [65]: 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى(6)لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا(7)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (6). Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (7).”
Dalam ayat di atas, Allah swt. menegaskan bahwa khusus untuk nafkah kebutuhan hidup (pangan dan sandang), bagi suami yang memiliki kekayaan dia harus menafkahi isterinya sesuai kekayan dan kemampuan yang dimilikinya. Tentu, berdosa seorang suami yang kaya, jika memperlakukan isterinya sebagi orang miskin. Namun, bagi suami yang miskin, dia harus memperlakukan isterinya sesuai keadaan dan kemampuan yang dimilikinya. Seorang suami yang miskin jangan pula memaksakan diri untuk memberikan nafkah kepada isterinya seperti halnya orang kaya. Sebab, Allah swt. tidak memberati setiap manusia, selain menurut kesanggupannya.
Di sinilah seringkali muncul persoalan rumah tangga, di mana seorang isteri terkadang tidak memahami keadaan suaminya. Seorang isteri terkadang menuntut sesuatu melebihi kemampuan suami. Maka yang muncul adalah “cek-cok” dan berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Atau, bagi suami yang terlalu sayang kepada isterinya, tetap mengikuti kemauan sang isteri namun menempuh cara yang salah seperti mencuri, korupsi dan sebagainya.
Namun, ada hal yang mesti disadari oleh para suami, bahwa kalaupun nanti semua kebutuhan dan tuntutannya dipenuhi, seorang isteri akan meminta lagi lebih dari itu. Dan jika sekali saja tidak dipenuhi dan dituruti kehendaknya, maka seorang isteri biasanya memberontak, menyebut keburukan suaminya atau membandingkan suaminya dengan lain.
Memang, begitulah salah satu watak “buruk” perempuan seperti yang digambarkan Rasulullah saw. dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim.
إني رأيتكن أكثر من أهل النار. فقلن بم يا رسول الله ؟ قال لأنكن تكفرن. قلن,أنكفر بالله؟ قال, لا إنكن تكفرن العشير أي الزوج, لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك شيأ لقالت مارأيت منك خيرا قط (مسلم)
Artinya: “Sesungguhnya aku melihat kebanyakan kalian (perempuan) termasuk penduduk neraka. Maka mereka bertanya, “Kenapa begitu ya Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab, “Karena kalian durhaka”. Mereka kembali bertanya, “Apakah kami durhaka kepada Allah? Rasulullah menjawab, “Tidak, (kalian tidak durhaka kepada Allah), namun kalian durhaka kepada suami kalian. Jikalau kamu (para suami) berbuat baik kepada salah seorang mereka (isteri kamu) sepanjang masa, namun satu kali saja dia melihat keburukanamu, maka semua kebikanmu tidak akan pernah terlihat sedikitpun oleh mereka.” (HR. Muslim)
- Memperlakukan isteri dengan baik
Memperlakukan isteri dengan baik, salah satu bentuknya adalah melakukan hal-hal yang membuat hati sang isteri senang dan bahagia. Bisa dengan bercanda, memuji dirinya atau apa yang dilakukannya atau memanggilnya dengan panggilan yang menyengkannya, seperti yang pernah ditunjukan oleh Rasulullah ketika mamanggil isteri beliau “’Aisyah dengan panggilan sayang humairah (yang pipinya kemerahan).
Memperlakukan isteri dengan baik juga bisa dalam bentuk tidak berlaku kasar kepadanya atau yang popular dengan istilah tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat an-Nisa’ : 19
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Begitu juga dalam surat al-Baqarah [2]: 229
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw pernah bersabda “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik kepada kelurganya, dan saya adalah yang terbaik terhadap kelurga saya”
b. Kewajiban isteri/hak suami
- Memelihara rumah, harta dan anak-anak
Seorang isteri berkewajiban menjaga dan memelihara rumah, harta dan anak-anak. Karena suami disibukan dengan kegiatan mencari nafkah di luar rumah. Seorang isteri dibebani kewajiban seperti itu, karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang bertanggung jawab penuh terhadap isteri dan anaknya dalam memenuhi nafkah dan kebutuhan mereka. Hal itu seperti disebutkan Alah dalam surat an-Nisa’[4]: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dalam sebuah hadistnya riwayat Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda
أربع من أعطيهن فقد أعطي خير الدنيا و الآخرة: لسان ذاكروقلب شاكر وبدن علي البلاء صابر وزوجة لا تبغيه خونا فى نفسها ولا مالها (حاكم من أبو داود)
Artinya: “Empat hal yang jika diberikan kepada siapapun, berarti dia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat: lidah yang berzikir, hati yang bersyukur, tubuh yang sabar ketika mendapat musibah, dan isteri yang tidak pernah mengkhianatinya dan mampu memelihara diri dan hartanya”.(HR. Abu Daud)
Dalam hadits lain riwayat at-Tarmizi, Rasululah saw juga bersabda
أربع من سعادة المرء: أن تكون زوجته صالحة, وأولاده أبرارا, وخلطائه صالحين, و أن يكون رزقه فى بلده (الترميذى)
Artinya: “Empat hal yang merupakan sumber kebahagian seseorang: bahwa ada isterinya seorang yang shalihah, anak-anaknya adalah anak-anak yang baik, teman-temannya orang-orang baik, dan rezekinya berada di kampungnya sendiri”.(HR. at-Tarmizi)
- Patuh dan taat pada suami
Kepatuhan seorang isteri kepada suami adalah sesuatu yang “mutlak” dan tidak bisa ditawar. Oleh karena itulah, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabada, “Jika boleh manusia sujud pada manusia, maka saya akan memerintahkan isteri sujud pada suaminya”
Saking tingginya kedudukan suami terhadap isteri, sehingga keridhaan Allah terkadang tergantung kapada keridhaan suami, dan murka Allah terkadang terkait dengan murka suami kepada isterinya. Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa haram bagi seorang isteri puasa sunat, ketika suaminya di rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu. Jika suaminya tidak memberi izin, dan dia memaksakan diri untuk berpuasa bukannya pahala yang akan diperolehnya, namun adalah dosa. Seperti dalam hadits riwayat Bukhari berikut
لايحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه (البخارى)
Artinya: “Tidak halal bagi seorang isteri berpuasa ketika suaminya ada di rumah, kecuali mendapat izinnya”. (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain juga disebutkan bentuk kepatuhan isteri kepada suami. Seperti hadits riwayat Bukahri dan Muslim berikut
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأت فباتت غضبان عليها لعنتها الملئكة حتى تصبح (البخارى و مسلم)
Artinya: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ke atas ranjang, lalu isterinya menolak hingga dia tidur dengan kemarahan suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan
إذا دعا الرجل امرأته لحاجته فلتأته وإن كانت على التنور
Artinya: “Apabila seorang suami mengajk isterinya untuk memenuhi hajatnya (berhubungan),mak hendak dia penuhi sekalipun dia sedang berad di dapur”.
Sangat populer sebuah kisah, seorang perempuan yang ditinggal suaminya untuk pergi berperang bersama Rasulullah. Sebelum berangkat, sang suami berpesan kepada isterinya agar tidak meninggalkan rumah sampai dia kembali dari peperangan. Namun, sepeninggal suaminya datang berita bahwa ayahnya sakit dan telah sakarat. Sang isteri tetap bertahan untuk tidak meninggalkan rumah sesuai pesan suaminya dan tidak datang untuk menengok ayahnya.
Sampai datang berita dan panggilan beberapa kali untuk segera melihat ayahnya yang sedang meregang nyawa. Namun, dia tetap bersikukuh mentaati pesan suaminya, hingga akhirnya ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan tanpa dia melihat dan menghadirinya, demi mematuhi pesan sang suami.
Sepulang dari peperangan, sebagian orang mengadukan perihal wanita dan suaminya tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah mendengarkan cerita mereka, Rasulullah menjawab, “Ayahnya masuk sorga, karena memiliki anak yang patuh dan taat pada suaminya”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar