Min al- ‘Âidîn wa al-Fâizîn
Ketika ‘îd al-fihtr datang, maka ungkapan yang selalu diucapkan oleh setiap muslim apabila bertemu dengan yang lain adalah, minal ‘âidîn wa al-fâizîn (semoga engkau/ kita termasuk orang yang kembali dan orang yang memperoleh kemenangan/ keberuntungan). Ada dua hal yang disebutkan dalam ucapan selamat hari raya tersebut;
1. Menjadi orang yang kembali (‘âidîn).
Maksudnya, pada hari itu semua manusia setelah selesai melaksanakan ibadah ramadhan, kembali kepada fitrahnya masing-masing. Fitrah secara harfiyah berarti asal kejadian, sehingga kembali kepada fitrah berarti manusia kembali kepada asal kejadiaannya, yaitu suci. Hal itu disebutkan Allah swt dalam surat as- Sajadah [32]: 7-9
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ(7)ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ(8)ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ(9)
Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah (7), Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (8), Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Begitu juga dalam surat Shad (38): 71-72.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ(71)فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ(72)
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah (71), Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Berdasarkan dua ayat di atas, dipahami bahwa pada awalnya manusia diciptakan dalam keadaan suci, karena di dalam dirinya terdapat roh Tuhan Yang Maha Suci. Akan tetapi, setelah roh tersebut disatukan dengan jasad manusia yang terbuat dari unsur yang rendah, yaitu tanah dan dilengkapi dengan nafsu yang selalu mendorong manusia untuk bergerak memenuhi kebutuhan jasmaninya tersebut. Saat itulah, terkadang manusia terjerumus melakukan dosa dan kesalahan kepada Allah swt. Akibatnya roh yang pada awalnya suci mulai terkotori dengan dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh jasmani manusia. Selanjutnya, dosa dan kesalahan itu membawa manusia jauh dari Allah, dan Allah pun menjauh darinya. Sebab, Allah adalah Dzat Yang Maha Suci, tidak bisa didekati dan mendekati kecuali yang suci pula. Semakin banyak manusia melakukan dosa dan kesalahan, maka semakin jauhlah Allah dari dirinya. Sebagai bukti bahwa dosa membuat manusia jauh dari Allah swt, bisa dilihat dengan membandingkan surat al-Baqarah [2]: 35 dengan surat al-A’raf [7]: 22 yang menceritakan tentang kondisi nabi Adam as sebelum dan sesudah bersalah kepada Tuhan.
وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan Kami berfirman (berkata/berbicara): "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim (Q.S al-Baqarah (2): 35).
Sementara itu dalam surat al-A’raf (7): 22 Allah berfirman
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru (memanggil) mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
Ada hal yang menarik untuk dicermati dari kedua ayat di atas, di mana sebelum nabi Adam as. bersalah, Allah swt menggunkan kata “Kami berkata/berbincang/ berbicara...” . Seperti yang sudah lazim dipahami, bahwa pembicaraan, perbincangan atau percakapan tentulah dilakukan oleh dua orang yang berada dalam jarak yang sangat dekat dan dalam hubungan yang harmonis. Akan tetapi, setelah nabi Adam melakukan dosa dan kesalahan kepada Allah dengan melanggar larangan-Nya, maka Allah menggunakan redakasi”…dan Tuhan mereka menyeru/ memanggil/ meneriaki mereka…”. Seperti yang dipahami bahwa seruan, panggilan atau teriakan tentu saja dilakukan oleh dua orang yang berada dalam jarak yang saling berjauhan.
Begitu juga sebelum Adam bersalah, Allah menggunkan kata ganti “Kami” (dhamîr mutakallim ma’a al-ghair/ orang pertama) yang berarti keduanya berada dalam jarak dekat. Sementara setelah Adam melakukan kesalahan, Allah menggunakan kata “Tuhan mereka” yang kata gantinya adalah bentuk ketiga (dhamîr al-ghâib) menunjukan orang yang jauh dari pembicaraan. Hal itu berarti, bahwa sebelum Adam bersalah dia begitu dekat dengan Allah, dan setelah melakukan dosa dan kesalahan, Allah langsung menjauh dari mereka. Sebagai wujud menjauhnya Allah dari Adam setelah melakukan kesalahan, adalah bahwa Allah membuangnya ke bumi yang sebelumnya berada di sorga sebagai simbol kedekatan dengan Allah.
Untuk mengembalikan manusia kepada kedekatannya dengan Allah maka salah satu caranya adalah dengan beribadah. Dan sarana untuk itu, Allah sediakan salah satunya di bulan Ramadhan dengan dituntutnya manusia melaksankan serangkaian ibadah padanya, baik wajib maupun sunat. Bukankah dalam sebuah haditsnya Rasullullah saw bersabda;
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: “Siapa yang mendirikan Ramadhan (dengan ibadah) atas dasar keimanan dan perhitungan yang mantap maka Allah pasti mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jika dosa yang telah dilakukan mendapat ampunan dan penghapusan dari Allah, maka tentulah manusia akan kembali kepada kedekatan dengan Allah. Sebab, kotoran yang menghalangi hubungannya tersebut telah dibuang. Dan itulah yang dimaksud îd al-fithr atau kembali kepada asal kejadian, kesucian dan kedekatan dengan Allah swt.
Kemudian fitrah manusia yang kedua adalah dekat dengan sesamanya. Hal itu juga digambarkan dalam kedua ayat di atas; yaitu surat al-Baqarah [2]: 35 dan surat al-A’raf [7]: 22. Di mana sebelum Adam dan Hawa melakukan dosa mereka berada dalam kondisi yang berdekatan dan hubungan yang harmonis sebagaimana ditunjukan dengan kalimat “pohon ini” dengan penggunaaan kata tunjuk untuk jarak dekat (hadzihi/ ini). Namun, ketika mereka telah melakukan dosa dan kesalahan akibat mengikuti kemauan yang lain, maka kalimatnya berobah menjadi “pohon itu” dengan menggunkan kata tunjuk untuk jarak jauh (tilkumâ / itu). Hal itu menunjukan bahwa sebelum bersalah, antara Adam dan Hawa berada dalam jarak yang berdekatan. Namun, setelah melakukan dosa dan kesalahan satu sama lainnya berada dalam jarak yang berjauhan. Kemudian hal itu terwujud setelah mereka dibuang ke bumi, Adam dibuang dibumi sebelah timur dan Hawa di bumi sebelah barat.
Dengan demikian, dosa dan kesalahan juga sebagai faktor penyebab terciptanya jarak dan jurang pemisah antara sesama manusia. Dengan datangnya ‘îd al-fihtr, maka manusia dikembalikan lagi kepada kedekatan hubungan tersebut dengan saling membuka pintu maaf, menghapus segala bentuk permusuhan, kebencian dan sebagainya dan menggantinya dengan persaudaraan dan kasih sayang. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nur [24]: 22
….وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “…dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kondisi kembali kepada fitrah ini juga yang disebut dengan halâl bi halâl, suatu ungkapan populer dikalangan umat Islam untuk menamakan acara perayaan ‘îd al-fithr. Halâl secara harfiyah berarti membuka, menyelesaikan, menguraikan sekat yang menghalangi untuk mencapai sesuatu. Lawannya adalah harâm yaitu kondisi atau sesuatu yang menghalangi atau menghambat mencapai sesuatu. Makanan yang boleh dimakan disebut halal, dikarenakan kita tidak terhalang mencapainya. Dengan demikian halâl bi halâl berarti membuka, atau menguraikan sekat yang menghalangi hubungan kita, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Adapun sekat atau penghalang tersebut adalah dosa dan kesalahan. Dosa kepada Allah yang menghalangi hubungan seseorang dengan-Nya diuraikan dengan taubat dan ibadah. Sementara, sekat yang menghalangi hubungan sesama manusia dibuka dan diuraikan dengan saling memaafkan.
2. Menjadi orang yang menang/ beruntung (fâizîn)
Maksudnya, pada hari itu semua umat Islam yang telah mengasah rohani mereka dengan beribadah selama Ramadhan, berhasil memperoleh kemenangan. Kenapa orang yang melalui Ramadhan dengan ibadah disebut mendapatkan keberuntungan atau kemenangan?. Dan apa bentuk keberuntungan itu?
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda
إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب الجنةوغلقت أبواب النار وسلسلت الشياطين
Artinya: “Apabila datang bulan Ramadhan, maka dibukalah seluruh pintu sorga dan dikunci rapat seluruh pintu neraka, serta dibelenggu semua syaithan.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).
Hal itu berarti, dengan melaksanakan ibadah selama Ramadhan, maka seseorang berhak atas kenikmtan sorga dan dijauhkan dari siksa api neraka. Itulah kemenangan dalam bentuk fauzun/fâizîn tersebut, sebagaimana Allah gambarkan dalam surat al-Hasyar [59]: 20
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya: “Penghuni-penghuni sorga mereka itulah orang-orang yang menang”
Begitu juga dalam surat Ali Imran [3]: 185
…فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ…
Artinya: “…Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung…”
Semoga dengan kembalinya kita semua kepada kedekatan dengan Allah dan sesama manusia, bisa mendatangkan kebahagiaan dalam jiwa setiap manusia dan hendaknya hal itu selalu terjaga. Sebab, kedekatan ini juga yang akhirnya membawa manusia kepada kemenangan dunia dan kahirat. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar