Menjadi “Dhuhâ” Dalam Masyarkat
Dalam sejarah turunya wahyu, dikenal sebuah istilah “masa terputusnya wahyu”. Setelah turunnya perintah kepada Rasulullah saw untuk berda’wah melalui surat al-Mudatstsir, al-Muzammil dan Nun, tiba-tiba wahyu berhenti turun. Para ulama berbeda pendapat tentang lama masa terputusnya wahyu tersebut. Namun, yang pasti Rasulullah saw sangat terpukul karenanya. Sebab, beliau betul-betul membutuhkan kehadiran wahyu dan malaikat jibril sebagai pendorong dan penguat semangat dakwah beliau yang baru saja dimulai. Kesedihan Rasulullah saw semakin meningkat, dikala orang kafir Quraisy mengetahui hal itu dan kemudian mengejek beliau dengan ungkapan “ Muhammad ternyata telah ditinggalkan Tuhannya”. Maka kemudian Allah swt menjawab ejekan orang kafir Quraisy tersebut dengan menurunkan surat adh-Dhuhâ [93]: 1-11
وَالضُّحَى(1)وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى(2)مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى(3)وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى(4)وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى(5)أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى(6)وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى(7)وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى(8)فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ(9)وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ(10)وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ(11)
Artinya: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik (1) “dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) (2), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (3). Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)(4), Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas (5), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu(6), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?(7), Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan (8). Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang(9), Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya(10), Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan(11).”
Dari redaksi dan pilihan kata pada ayat tersebut ada hal menarik untuk dicermati. Yaitu, kenapa dalam konteks ini Allah mengambil sumpahnya dengan wa adh-Dhuhâ (Demi Waktu Dhuha). Sebab, sangat mungkin sekali kata lain yang juga berarti masa dipakai oleh Allah swt, seperti wa al-laili, wa an-nahâri, wa al-‘ashri dan seterusnya. Pemilihan kata adh-Dhuhâ dalam konteks ayat tersebut agaknya mengandung arti kiasan untuk nabi Muhammad saw. Di mana Allah ingin mengatakan “Hai Muhammad! Engkau tidak perlu kawatir dan cemas menghadapi masyarakatmu, sebab engkau adalah dhuhâ bagi mereka”.
Seperti diketahui, bahwa dhuhâ adalah waktu pagi, saat matahari muncul sampai panasnya mulai terasa membakar. Cahaya pagi itu adalah cahaya yang selalu ditunggu oleh setiap makhluk, karena menyehatkan dan mendatangkan kebaikan baik manusia, hewan juga tumbuhan. Dengan demikian, Allah memerintahkan nabi Muhammad saw agar kemunculannya di tengah kaumnya seperti kemunculan cahaya dhuhâ yang mendatangkan kebaikan bagi lingkungan dan masyrakat.
Bagitu juga yang dituntut oleh Allah kepada umat Muhammad saw, agar setiap mereka menjadi “dhuhâ” bagi lingkungan dan masyarakat di mana mereka berada. Umat Muhammad saw dituntut selalu agar mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn). Salah satu wujud menjadi dhuhâ dalam kehidupan adalah seperti yang disebutkan dalam ayat 10 surat adh-Dhuhâ
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
Artinya: “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam kehidupan masyarakatnya akan dengan senang hati melayani setiap orang yang datang meminta kepadanya. Apakah yang diminta itu bersifat materi ataupun immateri, seperti bertanya atau mencari informasi tentang sesuatu. Sebab, kata sa’ala tidak hanya berarti meminta suatu yang berupa materi tetapi juga berarti, meminta sesuatu yang bukan bersifat materi.
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam masyarakatnya, akan penuh keseriusan menghadapi setiap orang yang datang kepadanya. Dia tidak menganggap kedatangan orang lain seperti sampah yang tidak medatangkan manfaat apa-apa dan karenanya perlu dibuang ke dalam tong sampah (tong sampah dalam bahasa Arabnya Minhar/ منهر ).
Begitu juga orang yang menjadi ”dhuhâ” dalam kehidupan akan dengan sangat serius dan penuh perhatian kepada setiap orang yang datang kepadanya dengan pertanyaan. Dia tidak merasa pertanyaan itu sesuatu yang tidak perlu didengar atau dilecehkan begitu saja. Seringkali dalam pergaulan sehari-hari, kita melecehkan pendapat atau pertanyaan orang lain, dengan dalih tidak berbobot atau “asbun/asal bunyi”. Namun, orang yang menjdi “dhuhâ” di tengah komunitasnya adalah orang yang selalu mendengarkan pertanyaan, ide, pendapat atau saran dari orang lain tanpa harus menilai berbobot atu tidaknya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar