Senin, 28 Juli 2008

Puncak Keagungan Ajaran al-Qur'an Tentang Akhlak

Puncak Keagungan Ajaran al-Qur'an
Tentang Akhlak
Hampir setiap khatib jum’at di akhir khotbahnya selalu membaca surat an-Nahl [16]: 90. Kebiasan membaca ayat ini setiap khutbah jum'at sudah berlaku semenjak pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah bani Umayyah yang sangat terkenal dengan keadilannya sehingga digelari khalifah ar-Rasyidin yang kelima. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para khatib untuk membaca ayat ini, karena pada waktu itu terjadi saling caci dan menjelekan sesama umat Islam, terutama terhadap Ali bin Abi Thalib dan kelurga serta pengikutnya. Umar bin Abdul Aziz memandang ayat ini sebagai puncak keagungan ajaran al-Qur'an. Dia berkeyakinan sekiranya ayat tersebut dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh setiap umat Islam, niscaya tidak akan ada kebencian, permusuhan dan akan terciptalah kedamaian, kemakmuran serta ketentraman secara universal. Firman Allah tersebut adalah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat ihsan dan memberi kepada karib kerabat, dan Allah melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan aniaya(melampaui batas) Dia memberi pengajaran kepadamu supaya kamu mendapat pelajaran” (Q.S an-Nahl [16]: 90
Dalam ayat di atas, ada tiga perintah Allah yang mesti dikerjakan dan tiga larangan Allah yang dituntut untuk ditinggalkan. Adapun perintah Allah yang pertama adalah berlaku adil. Adil bukanlah berarti sama rata, sekalipun sama adalah indikasi adil.

Banyak definisi adil yang telah diberikan para ulama, diantaranya menempatkan sesuatu sebagaimana mestinya. Seseorang yang membeli sepatu dengan harga ratusan ribu rupiah, lalu diletakannya di atas kepala dia tidaklah berlaku adil, karena sepatu letaknya bukan di kepala sekalipun harganya mahal. Manusia dalam kehidupan ini harus adil dalam pengertian menempatkan diri sebagaimana mestinya; suami harus menempati posisi suami, begitu juga isteri, anak, kakak, adik, paman, kemenakan, guru, murid dan seterusnya. Masing-masing dipandang berlaku adil, bila menempati posisi masing-masing.
Definisi adil yang lain adalah, memberikan sesuatu sesuai hak yang semestinya diterima seseorang. Misalnya bila seorang punya tiga orang anak yang berada pada jenjang pendidikan yang berbeda, pertama duduk di bangku sekolah dasar, kedua duduk di bangku SLTP dan yang ketiga di bangku SLTA, jika belanja mereka disamakan berarti dia tidaklah berlaku adil, sebab hak yang semestinya mereka terima berbeda antara satu dengan yang lain.
Definisi adil yang lain adalah mengambil yang menjadi hak kita dan memberi yang menjadi hak orang lain, tanpa kurang ataupun berlebih. Sementara, adil dalam bermasyarakat adalah bahwa seseorang memperlakukan orang lain sama seperti memperlakukan diri sendiri.
Dalam al-Qur’an terdapat dua bentuk adil yang digambarkan oleh Allah swt. Pertama, adil kepada diri sendiri dan keluarga seperti dalam surat an-Nisa’ [4]: 135
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak keadilan menjadi saksi karena Allah sekalipun atas dirimu sendiri….
Kedua, adil kepada musuh seperti yang diperintahkan Allah dalam surat al-Maidah [5]: 8
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى….
Artinya: “…janganlah kebencianmu kepada sekelompok orang membuat kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…”.
Agaknya, ini memang perbuatan yang teramat sulit untuk dilakukan. Jika memperlakukan orang lain yang kita sukai dan senangi, sama seperti memperlakukan diri sendiri tentu tidaklah terlalu sulit. Namun, bila memperlakukan orang yang dibenci seperti memperlakukan diri sendiri agaknya tidak semua orang mampu melakukannya. Begitulah keagungan ajaran al-Qur’an
Perintah Allah yang kedua adalah berbuat baik (ihsân). Ihsân tentu memiliki makna yang lebih luas dari sekedar berbuat baik dan lebih agung dari sikap adil. Kita lihat misalnya ihsân dalam ma’af, seperti yang digambarkan Allah dalam surat Ali Imran [3]: 134 dan al-Ma’idah [5] : 13, bahwa ihsân adalah membalas kejahatan dengan kebaikan. Ihsân dalam ibadah adalah seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa suatu hari Jibril datang kepada Rasulullah saw bertanya apa itu ihsân, Rasulullah saw menjawab “Ihsân adalah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya” . Dengan demikian, orang yang berlaku ihsân dalam ibadah adalah orang yang ketika berhadapan dengan Allah, dia tidak melihat dirinya, namun yang dilihatnya adalah Allah. Dan orang yang berlaku ihsân kepada manusia, adalah orang yang ketika berhadapan dengan orang lain, yang dilihatnya hanyalah orang lain dan tidak melihat dirinya. Ketika berhadapan kepentingannya dengan kepentingan orang lain, dia lebih memilih mendahulukan kepentingan orang lain dan mengorbankan kepentingannya. Jika dia membutuhkan sesuatu, dan saat yang sama orang lain juga membutuhkannya, maka dia memilih untuk mendahulukan pemenuhan kebutuhan orang lain. Sehingga orang yang ihsân adalah orang yang memperlakukan orang lain lebih baik daripada perlakuan kepada diri sendiri.
Para sahabat telah mencontohkan sikap ihsân ini dengan sempurna. Misalnya, Umar bin Khattab pernah mengungkapkan suatu ucapan yang sangat populer ketika menjabat khalifah “Kalau umat ini kelaparan, biarlah saya orang pertama merasakannya. Namun, bila umat ini kekenyangan biarlah saya yang paling terakhir merasakan kenyang itu”.
Abu Bakar ash-Shiddiq juga pernah mencontohkan bentuk ihsân ketika beliau bersama Rasulullah saw bersembunyi di gua Tsur menghindari kejaran orang kafir Quraisy, ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu, Rasulullah saw tertidur di paha Abu Bakar karena kelelahan. Abu bakar melihat lobang ular yang berada di dekat Rasulullah saw, kemudian Abu bakar dengan serta merta menutup lobang itu dengan tangannya, dan membiarkan tangannya digigit ular sampai air matanya menetes karena menahan rasa sakit. Hal itu dilakukan Abu Bakar, karena tidak mau mengganggu tidur Rasulullah saw apalagi membiarkannya digigit musuh.
Perintah Allah yang ketiga, adalah memberi kepada karib kerabat, keluarga atau orang terdekat. Kata îtâ’i berbeda dengan A’thâ walupun sama berarti memberi. Jika A’thâ pemberiannya bersifat material, maka îtâ’i perberiannya tidak terbatas material. Seperti dalam surat Ali Imran [3]: 26, pemberiannya burupa kerajaan dan kekuasaan. Dalam surat al-Baqarah [2]: 269, pemberiannya berbentuk hikmah, kebijaksanaan atau ilmu yang luas. Dan dalam surat al-Hijr [15]: 87, pemberian berupa wahyu. Dengan demikian, kata îtâ’i berarti pemberian sesuatu yang agung dan bernilai tinggi. Jika ditanyakan kenapa harus karib kerabat atau kelurga terdekat yang dijadikan prioritas?
Di antara jawabannya adalah, kalau masing-masing orang mampu mengurus keluarga dan orang terdekatnya dengan baik, dipastikan tidak akan muncul masalah di tengah masyarakat. Persoalan semakin banyak hari ini muncul ditengah masyarakat, disebabkan masing-masing orang gagal atau tidak mempu mengurus orang-orang terdekatnya. Orang tua tidak mampu mengurus anaknya, kakak tidak mampu mengurus adiknya, paman tidak mampu mengurus keponakannya dan seterusnya. Di samping itu, pemberian kepada keluarga terdekat, memiliki nilai ikhlas yang berbeda dibandingkan pemberian kepada orang lain. Kalau kita memberi orang lain apalagi yang tidak dikenal, tentunya ada sesuatu yang diharapkan di balik pemberian itu, apakah simpatik, penghargaan, dukungan dan sejenisnya.
Adapun larangan Allah yang mesti ditinggalkan adalah; pertama, menjauhi perbuatan keji (fahsyâ’). Perbuatan fahsyâ’ tidak hanya perbuatan yang dianggap keji dan buruk, tetapi juga mendatangkan keburukan baik bagi pelaku maupun orang lain. Dalam surat al-Isra’[17]: 32, Allah gambarkan salah satu bentuk perbuatan fahsya’ yaitu zina.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Zina di anggap perbuatan fahsyâ’, karena tidak hanya buruk secara syar’i tetapi juga mendatangkan keburukan, baik bagi pelaku yang akan dijangkiti berbagai macam penyakit kelamin, bahkan juga mendatangkan keburukan bagi orang lain, lingkungan, masyarakat dan bangsa. Perzinahan akan membuat kehormatan manusia menjadi hilang, karena tidak jelas lagi nasabnya. Manusia menjadi tidak lebih baik dari binatang, serta munculnya pelecehan terhadap kemanusian berupa aborsi, pembunuhan anak dan sebagainya.
Larangan Allah yang kedua, adalah meninggalkan perbuatan munkar. Munkar secara bahasa berasal dari kata nakira yang berarti sesuatu yang tidak dikenal. Lawannya adalah ma’ruf atau ma’rifah berarti sesuatu yang dikenal. Mungkar lebih luas dari ma’shiyat, karena ma’shiyat terbatas kepada pelanggaran terhadap aturan Allah. Sementara, munkar adalah perbuatan yang tidak hanya melanggar aturan Allah, tetapi juga pelanggaran terhadap aturan dan norma yang dibuat dan dianggap baik manusia, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Ibnu Thaimiyah memberikan definisi munkar dengan arti, melakukan perbuatan yang tidak berkenan di hati orang banyak. Termasuk hal-hal yang mubah secara syar’i, seperti bergandengan tangan suami istri di tempat di mana masyarakatnya tidak biasa dengan hal seperti itu. Perbutan ini dianggap munkar dan karenanya dia berdosa sekalipun tidak melanggar syari’at agama.
Larangan Allah yang ketiga, adalah menjauhi perbuatan aniaya atau melampaui batas (al-Baghy). Kata ini secara bahasa berarti menuntut pihak lain secara aniaya dan melampaui batas. Tindakan melampui batas dilarang bukan hanya terhadap hal-hal yang berbentuk maksiat, tetapi juga terhadap hal yang dibolehkan secara syar’i. Misalnya dalam menuntut balas yang diatur dalam hukum qishâsh, yaitu nyawa dibalas nyawa, mata dibalas mata, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi tanpa boleh melebihi dari apa yang diterimanya terhadap pelaku. Dalam surat an-Nahl [16]: 126, Allah swt mengariskan
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Artinya:“ Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”

Tidak ada komentar: