Senin, 21 Juli 2008

Mencapai Khusu’ Dalam Shalat

Mencapai Khusu’ Dalam Shalat

Dalam surat al-Mu’minun [23]: 1-2 Allah swt berfirman
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ(2)
Artinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman (1), Yaitu orang-orang yang khusu’ dalam shalt mereka(2).”
Ayat inilah yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama yang mewajibkan khusu’ dalam pelaksanaan shalat. Mereka menjadikannya sebagai salah satu dari rukun shalat. Sehingga, shalat seseorang tidak sah atau minimal tidak mencapai tingkat sempurna, jika tidak ada kekhusu’an padanya. Sebab, perintah Tuhan tidak selalu harus dipahami dari bentuk kalimat perintah. Begitu juga, larangan Tuhan tidak mesti harus dituangkan dalam kalimat larangan. Suatu perbuatan yang dipuji oleh Allah, maka perbuatan tersebut adalah sesuatu yang diperintahkan. Sebaliknya, sesuatu perbuatan yang dicela oleh Allah berarti perbuatan itu dilarang dan mesti ditinggalkan. Begitulah juga kesan yang dipahami dari surat al-Ma’un [107]: 4-5, di mana Allah mencela orang yang lalai terhadap shalat mereka. Salah satu bentuk lalai terhadap shalat adalah tidak khusu’ dalam melaksanakannya.
Dengan demikian, shalat bukan hanya sekedar serangkaian perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, seperti definisi shalat yang dikemukan selama ini. Akan tetapi, lebih jauh dari itu bahwa shalat adalah mengikutkan hati terhadap apa yang dibaca dan yang dilakukan tersebut. Oleh karena itu, sebagian ulama membagi rukun shalat tersebut kepada tiga bentuk. Pertama, disebut rukun qauli yang berbentuk ucapan atau sesuatu yang dilafazkan. Kedua, disebut rukun fi’li yang berupa gerakan. Dan ketiga disebut rukun qalbi yang merupakan aktifitas hati yang salah satu wujudnya adalah kekhusu’an.
Jika shalat hanya serangkaian ucapan dan gerakan, tentulah ia tidak terlalu sulit. Sedangkan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 45 menegaskan bahwa shalat adalah sesuatu yang teramat sulit, sebagaimana firman-Nya; Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.”
Secara harfiyah khusu’ memiliki bebarapa arti; Di antaranya khusu’ berarti diam dan tenang. Arti lain adalah mengarahkan hati sepenuhnya kepada sesuatu atau kosentrasi penuh terhadap sesuatu dan mengabaikan yang selainnya.
Sementara itu, para ulama telah mencoba memberikan definisi khusu’ menurut sudut pandang ilmu masing-masing. Para fuqaha’ memberikan pengertian khusu’, yaitu rasa takut seseorang jangan sampai shalat yang dikerjakannya ditolak oleh Allah swt, yang ditandai dengan tertunduknya pandangan mata ke tempat sujud. Para fuqaha’ memberikan beberapa indikasi khusu’ dengan memelihara gerak diluar gerak shalat, seperti tidak menguap, menoleh ke kiri dan kanan, menggerak-gerakan jari tangan, memandang ke atas tetapi ke bawah.
Pengertian khusu’ seperti ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibn Majah menyebutkan, bahwa suatu ketika Rasullah saw lewat di dekat sahabat yang sedang mengerjakan shalat. Kemudian sahabat tersebut memegang jenggutnya, maka Rasulullah bersabda “Jika dia khusu’ maka tangannya juga khusu’ (tidak bergerak).”
Sementara itu, kelompok sufi memberikan definisi khusu’ yaitu menghadirkan Allah atau kebesaran-Nya di dalam benak dan hati orang yang shalat, sehingga dia larut bersama Allah atau bersama kebesaran-Nya dan tidak menyadari keadaan di sekitarnya. Pengertian khusu’ seperti ini didasarkan surat al-Ankabut [29]: 45, “…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…”. Seseorang hanya bisa terhindar dari perbuatan keji dan mungkar jika dia selalu menghadirkan Allah dan kebesaran-Nya dalam setiap gerak langkahnya, tentu saja termasuk dalam shalatnya.
Bentuk khusu’ ini adalah seperti yang pernah dicontohkan oleh sayidina Ali Zainal Abidin, seorang cucu Ali bin Abi Thalib ra yang terkenal kesalehannya. Suatu ketika salah satu anggota tubuhnya sakit dan mesti dibedah untuk membuang penyakitnya. Maka dia menyarankan agar pembedahan dilakukan ketika dia sedang melaksanakan shalat. Ternyata, ketika pembedahan selesai dia tidak tahu kalau penyakitnya sudah diangkat. Hal itu terjadi karena kekhusu’annya dalam shalat yang merasakan kenimatan berhubungan dengan Allah, sehingga dia tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Lalu bagaimana khusu’ itu bisa dicapai?
Dalam surat al-Baqarah [2]: 45 Allah swt berfirman
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.”
Ada hal yang menarik untuk dicermati dari ungkapan ayat di atas. Allah swt menyebutkan dua langkah untuk memperoleh khusu’ yaitu sabar dan shalat. Akan tetapi, kata ganti keduanya Allah sebutkan dalam bentuk tunggal (inahâ/ dia) bukan keduanya (innahumâ). Hal itu memberikan isyarat bahwa sabar dan shalat adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Keduanya harus menyatu dalam diri setiap manusia. Ketika sabar, seseorang dituntut untuk mengerjakan shalat karena sabar tanpa shalat atau ibadah, tidaklah ada artinya. Begitu juga sebaliknya, ketika shalat seseorang dituntut untuk sabar, yang diwujudkan dalam bentuk tidak tergesa-gesa dalam melaksanakannya serta berupaya selalu menghadirkan Allah dan kebesaran-Nya ketika shalat dikerjakan, sehingga khusu’ bisa diperoleh.
Seorang yang berupaya mencapai khusu’ dalam shalatnya, sama seperti seorang yang sedang mencari sebuah gelombang radio. Dia mulai memutar tombol pencari gelombang dengan sabar dan perlahan-lahan. Suatu ketika gelombang itu ditemukan namun hilang lagi, kemudian dicarai kembali dan ditemukan lagi, namun masih kurang bersih. Tombolnya diputar kembali dengan perlahan dan sabar, sampai hal itu dilakukannya beberapa kali dan sekuat tenaganya karena setiap kali gagal dia mencoba lagi. Begitulah sampai akhirnya dia menemukan gelombang yang dicarinya dan menikmati keindahan dan kejernihannya.
Namun demikian, Allah swt memberikan suatu petunjuk untuk mencapai kekhusu’an tersebut. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 46
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.
Cara memperoleh khusu’ dalam ayat di atas adalah, dengan meyakini ketika shalat bahwa dia akan menemui Tuhannya dan akan kembali kepada-Nya setelah shalat dilaksanakan. Seorang abid bernama Hatim al-Isham pernah ditanya tentang bagaimana cara khusu’ dalam shalat. Dia berkata” Bila masuk waktu shalat saya berwudu’ zahir dan batin, yaitu aku basuh anggota tubuhku dengan sempurna lalu aku bertobat dan membuang semua penyakit dan kotoran yang ada dalam hatiku. Kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Akau berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, sorga di sebalah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada dibelakangku yang sedang menunggu aku selesai shalat dan kemudian mengambil nyawaku, dan aku bayangkan pula bahwa akau seolah-olah berdiri di atas titian “shirath al-Musthaqim” dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhirku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.
Memang tidak semua orang bisa mencapai khusu’ dalam shalat, dan tidak juga semua orang dibebankan supaya khusu’. Sebab, Allah swt telah menegaskan hal itu dalam surat al-Baqarah (2): 286, “…Allah tidak membebankan jiwa keculai sesuai dengan kemampuannya…”. Namun demikian, tentu semua manusia dituntut untuk selalu memperbaiki shalat mereka agar selalu lebih baik sampai akhirnya mencapai tingkat khusu’ tersebut.
Pelaksanaan shalat oleh manusia, sama seperti diadakannya sebuah pameran lukisan, dimana semua orang diundang untuk menghadirinya. Namun, orang-orang yang meghadirinya tentu dalam kondisi dan keadaan yang beragam. Ada yang hadir hanya sekedar memenuhi undangan karena segan, takut atau malu kepada yang mengundang. Ada juga yang sekedar datang tanpa melihat, memahami dan merasakan apa-apa. Ada yang datang melihat dan memperhatikan sekalipun dia tidak mengerti apa-apa. Ada yang datang melihat dan memperhatikan sekalipun tidak mengerti, namun dia berusaha untuk bertanya mencari tahu. Ada yang datang melihat dan benar-benar menikmati keindahan lukisan, sehingga dia larut dengan keindahan tersebut dan tidak menyadari keadaan sekitarnya.
Akan tetapi, tentu orang yang mengundang akan merasa senang dan memberikan penghargaan kepada semua yang hadir atas kehadirannya. Namun, pengundang akan lebih senang lagi kepada undangan yang hadir dan benar-benar menikmatai sesuatu yang disuguhkan kepada mereka. Dan yang tidak boleh adalah tidak menghadiri undangan.
Begitulah pelaksanaan shalat oleh manusia yang dilakukan dalam bentuk yang beragam. Yang penting kerjakanlah shalat menurut kemampuan sambil selalu berupaya memperbaiki dan menyempurnakannya. Yang tidak boleh adalah tidak mengerjakan shalat atau meninggalkannya.

Tidak ada komentar: