Senin, 28 Juli 2008

Membangun Ukhuwah Islâmiyah

Membangun Ukhuwah Islâmiyah

Kata ukhuwah Islâmiyah dalam pemahaman sebagian orang diartikan sebagai persaudaraan antara sesama umat Islam. Pengertian demikian agaknya kurang tepat dengan melihat bentuk kata ukhuwah Islâmiyah itu sendiri. Kata Ukhuwah Islâmiyah berarti persudaran yang islami, atau bersifat islami,atau persaudaraan yang diatur menurut Islam. Oleh karena itu, persaudaraan antara sesama umat Islam adalah salah satu bagian dari bentuk ukhuwah Islâmiyah.
Persaudaran dalam kosa kata bahasa Indonesia diartikan kelompok yang diikat oleh suatu persamaan. Dua orang adik dan kakak disebut bersaudara karena diikat oleh persamaan ayah dan ibu. Begitu juga orang yang berlaku mubazzir (suka berlebihan) disebut saudaranya syaithan karena memiliki kesamaan sifat, “Sesungguhnya orang yang mubazzir adalah saudaranya syaithan.” (Q.S. Al-Isra’ (17) : 27). Pertanyaannya kemudia adalah apa perlunya membangun persaudaraan?
Adalah fithrah setiap manusia untuk hidup secara bersama dan berkelompok dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam ayat yang pertama diturunkan Allah swt, surat al-‘Alaq [96]: 2 Allah berfirman;
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Artinya: “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah (‘alaq).”
Kata ‘alaq secara bahasa bukanlah berarti segumpal darah. ‘Alaq adalah suatu sifat, yang secara harfiyah berarti sesuatu yang menggantung. Oleh karena itu, lintah dalam bahasa Arab disebut juga dengan ‘alaq karena sifatnya yang menggantung. Sel sperma yang sudah menyatu dengan sel telur dan membentuk zygote, kemudian ia menempel di rahim seperti lintah yang berbentuk segumpal darah. Allah menyebutkan kata ‘alaq sebagai penciptaan awal manusia mengandung sebuah isyarat, bahwa manusia semenjak dari awal penciptaannya sudah memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Betapa tidak, karena tidak ada satu pekerjaan sekecil apapun yang bisa dilakukan manusia tanpa bantuan pihak lain. Contoh sederhana adalah tertawa yang dianggap pekerjaan paling ringan. Akan tetapi pekerjaan tertawa tidak bisa dilakukan seseorang tanpa adanya orang lain, karena bila tertawa sendiri manusia akan kehilangan kesempurnaannya. Di sinilah perlunya manusia hidup bersama atau berkelompok dan membangun persaudaraan. Namun demikian, persaudaraan itu haruslah dibangun berdasarkan ajaran Islam (ukhuwah Islâmiyah).
Islam memberikan tuntunannya tentang bagaimana persudaraan itu dibangun. Setidaknya ada tiga bentuk persaudaraan yang diperkenalkan Islam. Pertama, disebut ukhuwah ‘ubudiyah (persaudaraan semakhluk). Artinya secara penciptaan, semua makhluk termasuk binatang adalah bersaudara karena diikat oleh kesamaan, yaitu sama-sama ciptaan Tuhan. Dalam surat al-‘An’am (6) : 38 Allah berfirman
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ….
Artinya: “Dan Tidak bintang yang melata di muka bumi dan tidak pula burung yang terbang dengan dua sayapnya kecuali semua mereka adalah umat-umat seperti kamu (bersaudara)…”
Oleh karena semua makhluk adalah bersaudara dalam pengertian sama satu penciptaan, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap yang terbaik terhadap binatang sekalipun. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa “seseorang akan masuk ke dalam neraka karena berlaku tidak baik kepada bintang seperti mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan”. Namun sebaliknya, “ada manusia yang masuk ke dalam sorga karena berbuat baik kepada seekor binatang seperti memberi minum anjing yang sedang kehausan”. Seperti dalam hadits berikut
دخلت امرأة النار بهرة ربطتها
Artinya: “Seorang perempuan masuk neraka karena mengikat seekor kucing sampai mati kelaparan.
Kedua, disebut ukhuwah insâniyah (persaudaraan sesama manusia). Hal ini berarti bahwa sesama manusia adalah bersaudara, karena diikat oleh kesamaan nenek moyang yaitu Adam dan Hawa. Seperti yang terdapat dalam surat al-Hujurat (49) : 13, “Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu semua saling kenal (bersaudara)…”.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda
كونوا عباد الله إخوانا
Artinya: “Jadilah kamu semua hamba-hamba Allah sebagai orang yang bersaudara.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketiga, disebut ukhuwah fi al-dîn (saudara seagama atau satu keyakinan). Seperti yang ditunjukan Allah swt. dalam surat al-Hujurat (49) : 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Dalam mengungkapkan persaudaraan seiman Allah swt. menggunakan kata ikhwah yang memiliki arti berbeda dengan kata ikhwân walaupun secara harfiyah sama berarti bersaudara. Ikhwân adalah persaudaraan yang lebih kepada menunjukan adanya kesamaan saja, seperti dalam surat al-Isra’ (17): 17 di atas, sedangkan ikhwah berarti saudara kandung satu ayah dan ibu. Dengan demikian, persaudaran seakidah dibangun sebagaimana layaknya saudara kandung.
Untuk melihat wujud atau aplikasi dari persaudaraan seakidah ini, marilah kita lihat ayat-ayat dan hadits berikut. Dalam surat al-Hasyar [59]: 9 Allah berfirman
….وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ…..
Artinya: “…Mereka lebih mengutamakan kepentingan mereka (saudara mereka) sekalipun mereka membutuhkannya…”.
Hal inilah yang pernah dipraktekan oleh kaum Anshar terhadap Muhajirin ketika terjadi peristiwa hijrah, di mana mereka memperlakukan saudara mereka yang seiman melebihi perlakuan kepada mereka sendiri. Sesuatu yang sebelumnya adalah milik kaum Anshar, setelah kedatangan kaum Muhajirin kepemilikan itu diberikan sebagiannya kepada kaum Muhajirin. Agaknya para pendahulu Negara kita mengambil salah satu butir pancasila dari ayat di atas “mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan”
Dalam surat al-Hujurat [49]: 11-12 Allah swt berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ(12)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11) :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(12)
Persaudaraan seiman harus dibangun berdasarkan saling menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusian. Persaudaran seiman tidak boleh dikotori oleh sikap saling melecehkan dan merendahkan, dan menjaga kehormatan saudara seperti menjaga kehormatan diri sendiri.
Begitu juga hendaklah persaudaraan seakidah harus jauh dari saling curiga dan buruk sangka, karena persaudaraan tersebut dibangun atas dasar saling percaya. Barangkali rasa saling percaya di antara sesama umat Islam inilah yang sudah mulai pudar kalau tidak akan mengatakannya hilang sama sekali. Contoh sederhana betapa saling percaya di antara umat Islam sudah lenyap, adalah ketika mereka pergi ke masjid-masjid untuk beribadah. Di mana sudah menjadi kenyataan umum dikalangan umat Islam sendiri, bahwa mereka tidak mau membawa sandal yang bagus ke masjid dengan alasan akan hilang diambil atau ditukar orang lain. Padahal yang mereka curigai adalah orang-orang yang sama melaksanakan ibadah dengannya atau bahkan duduk di sebelahnya ketika beribadah.



Dalam sebuah Haditsnya Rasulullah saw bersabda
مثل المسلمين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد اذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
Artinya: “Perumpamaan orang-orang Islam dalam hal kasih sayang seperti satu tubuh, bila satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota lain ikut merasakan sakit sehingga semuanya tidak bisa tidur dan merasa demam karenanya.”
Begitulah persaudaraan seiman yang dibangun berdasarkan Islam. Mereka saling membahu dalam menghadapi kesulitan dan saling merasakan kesusahan seperti yang dirasakan saudaranya yang lain. Seorang muslim tidak pernah tertawa di atas penderitaan saudaranya, apalagi menginginkan kecelakaan bagi saudaranya sendiri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw duduk bersama para sahabat, lalu beliau bersabda;
انصر أخاك ظالما او مظلوما
Artinya: “Tolonglah saudaramu baik dalam berbuat aniaya maupun dianiaya.”
Para sahabat kemudian bertanya “Ya Rasulullah, jika saudara kami dianiaya tentulah kami menolongnya, namun jika ia berbuat aniaya bagaimana mungkin kami menolongnya”. Rasulullah saw menjawab “Maksudnya jika saudaramu berbuat aniaya cegahlah dia agar tidak melakukannya, itulah bentuk menolong saudaramu berbuat aniaya”.
Agaknya hal ini sudah mulai hilang dari setiap pribadi umat Islam, karena seringkali kita membiarkan saudara kita jatuh ke jurang dosa tanpa ada usaha untuk menolongnya agar terhindar dari dosa. Betapa hari ini di jalan raya kita temukan sepasang anak muda yang berboncengan di atas sepeda motor, dengan kondisi tempat duduk yang dibuat sedemikian rupa agar kondisi duduknya saling berdekatan. Begitu juga di tempat-tempat wisata, dimana sepasang muda mudi yang belum suami istri berpelukan dan bermesraan, dan sebagainya seakan sudah menjadi pemandangan yang biasa. Nyaris hampir semua umat Islam tidak mau peduli, dengan dalih bukan anak atau keluarga mereka. Kenapa itu terjadi? Jawabannya adalah karena kita tidak merasa mereka adalah saudara kita yang mesti dicegah dari perbuatan dosa. Hal itu telah diperingatkan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Ma’idah [5]: 2
….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ….
Artinya: “ …Saling tolong menolonglah kamu dalam berbuat baik dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda
المسلم اخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه ومن كان في حاجة اخيه كان الله في حاجته ومن فرج عن مسلم كربة من كرب الدنيا فرج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا و الآخرة والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه
Artinya: “Muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara, dia tidak menzhalimi saudaranya dan tidak pula menyerahkannya kepad musuh, siapa yang membantu kepentingan saudaranya Allah akan membantu memenuhi kebutuhannya, siapa yang melepaskan kesulitan saudaranya di dunia Allah akan membantunya dari kesulitan pada hari kiamat, siapa yang menutupi aib saudaranya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamban-Nya selalu menolong saudaranya”.

Tidak ada komentar: