Beberapa Aturan Ibadah Dan Mua’malah
Dalam surat an- Nisa’ [4]: 43, Allah swt. berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.”
Ayat di atas berbicara tentang beberapa aturan ibadah dan mu’amalah (cara berinteraksi dengan sesama manusia). Adapun aturan tersebut adalah;
1. Ayat di atas di mulai dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman”. Hal itu menunjukan bahwa ibadah apapun bentuknya, terutama ibadah yang wajib hendaklah pelaksanaanya dilandasi dasar keimanan.
Iman secara sederhana diartikan ilmu tentang al-haq (kebenaran), dan puncak al-Haq adalah Allah swt. Akan sia-sialah ibadah seseorang jika dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang benar. Manusia dilarang oleh Allah bersikap taqlid, terutama dalam hal ibadah. Seseorang boleh mengikuti apa yang dilakukan orang tanpa pengetahuan, namun ketidaktahuannya itu hanyalah untuk waktu tertentu. Dia tidak boleh bertahan dalam ketidaktahuannya. Karena, manusia telah diberikan seperangkat alat untuk terhindar dari ketidaktahuan, seperti mata, telinga, mulut, akal dan seterusnya. Semua itu tentu akan diminta pertanggungjawabannya nanti di akhirat.
2. Ayat ini adalah ayat kedua yang turun mengatur hukum khamar. Ayat yang pertama adalah surat al-Baqarah [2]: 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا…
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya"…”.
Sedangkan ayat ke tiga atau yang terakhir mengatur tentang khamar adalah surat al-Maidah [5]: 90. Ayat ini turun di Madinah ketika kondisi umat sudah mapan dan keimanan umat Islam sudah kokoh dan siap menerima hukum yang keras. Seperti firman Allah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Hal ini mengandung pengajaran, bahwa hendaklah umat Islam bijaksana dalam mengajak manusia ke jalan Tuhan. Umat Islam dalam berda’wah janganlah memaksakan keingananya kepada orang lain. Janganlah terlalu berambisi merobah kebiasaan dan tradisi seorang atau sekelompok orang dengan cepat dan seperti membalik telapak tangan. Hendaklah ajakan dan perobahan dilakukan secara bertahap, hingga akhirnya orang lain mengikuti kebenaran yang disampaikan dengan utuh dan sempurna. Sebab, jika kita ingin merobah sesuatu yang sudah mapan di tengah suatu masyarakat dengan cepat dan paksaan, tentulah akan menimbulkan gejolak yang hebat dan Islam bukannya akan diterima, namun akan dibenci dan dimusuhi.
3. Jangan seseorang mendekati shalat termasuk dilarang mendekati tempat shalat jika sedang mabuk. Ayat ini kemudian dijadikan alasan oleh sebagian ulama untuk melarang shalat bagi yang sedang dilanda rasa kantuk.
Jika seseorang dilanda kantuk yang hebat, hendaklah dia pergi tidur telebih dahulu baru kemudian melaksanakan shalat. Hal itu juga disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, “Jika salah seorang kamu dilanda kantuk hendaklah dia tidur terlebih dahulu. Sebab, jika sedang mengantuk kemudian dia shalat boleh jadi dia meminta ampun, namun malah minta kutuk”.
4. Ayat di atas juga menjadi alasan sebagian ulama untuk melarang tidur di dalam masjid.
Orang yang sedang mabuk sama keadaannya dengan orang yang tidur, karena dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Sementara, masjid adalah rumah Allah yang mesti dijaga kesuciannya. Bagaimana halnya, jika orang yang tidur mengeluarkan air ludahnya di atas tempat sujud, atau “ngompol” di atas tikar masjid, atau bahkan bermimpi hingga dia junub di dalam masjid? Tentulah semua itu akan merusak kebersihan dan kesucian masjid.
5. Melalui ungkapan “…sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” , para ulama memahami bahwa orang yang shalat dituntut untuk mengerti dan mengetahui apa yang dibaca dan diucapkannya, termasuk memahami dan menghayati setiap gerakan shalat yang dilakukannya.
Oleh karena itu, tidak cukup shalat bagi seseorang sampai batas bisa melaksanakannya saja. Namun, harus mampu memahami setiap apa yang diucapkan dan dilakukannya.
6. Tidak boleh shalat dan juga mendekati tempat shalat jika sedang junub, termasuk haid bagi perempuan, sehingga dia mandi untuk menghilangkan hadats besarnya yang disebut dengan mandi janabat.
Sebelum suci dari hadatsnya, orang yang sedang junub hanya boleh lewat tempat shalat dengan perjalanan yang cepat seperti layaknya seseorang yang menyeberang di jalan raya.
7. Bagi orang junub dapat, dia bisa menghilangkan hadatsnya dengan cara mandi. Namun, mandinya haruslah dalam bentuk taghtasilu (mandi yang bersangatan). Kata ini berbeda dengan ghasala yang juga sama berarti mandi. Tidaklah disebut mandi junub menurut ayat di atas, jika mandinya hanya sebatas menyampaikan air ke seluruh tubuh. Akan tetapi, harus lebih dari itu dengan cara menggosok seluruh tubuh, menggunakan sabun atau pembersih lain dan sebagainya.
8. Jika seseorang sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat yang rendah (buang air kecil atau besar), menyentuh perempuan, maka dia boleh bertayamamum jika tidak mendapatkan air.
Tidak mendapatkan air bisa dalam pengertian karena tidak ada air atau sakit yang menghalangi untuk memakai air. Dan alat yang bisa dipergunakan untuk bertayamum adalah sha’idan thaiyiba, yang secara harfiyah berarti sesuatu yang tinggi, menonjol di permukaan, atau naik. Dari sinilah munculnya perbedaan pendapat para ulama tentang alat bertayamum yang dipakai. Imam Syafi’i dan Maliki berpendapat tanah. Sementara imam Hanafi berpendapat batu, sedangkan Hambali berpendapat boleh dengan kayu. Akan tetapi, para ulama sepakat mengatakan bahwa tayamum tidak boleh dengan besi, emas, perak, tembaga dan sejenisnya. Sebab, benda-benda tersebut bukan bagian dari tanah.
Adapun anggota tubuh yang mesti ditayamumkan adalah wajah dan kedua tangan. Sebab, tayamum bukan untuk tujuan membersihkan seperti halnya wudhu’ atau mandi. Namun, tayamum dimaksudkan akan arti pentingnya bersuci bagi manusia ketika akan menghadap Allah.
9. Dari ungkapan “Kembali dari tempat yang rendah”, terkandung ajaran moral dan akhlak yang tinggi. Sebab, Allah tidak menyebutkan “Kembali dari buang air besar atau kecil”. Zaman dulu, ketika wc belum seperti sekarang, orang jika hendak buang air besar atau kecil harus mencari tempat yang rendah agar tidak terlihat oleh orang lain. Atau jika buang air di padang pasir yang kemungkinan akan terlihat orang lain, seseorang disuruh agar duduk melaksanakannya.
Begitulah buang air besar dan kecil yang semestinya dilakukan oleh manusia, yaitu dengan cara menyembunyikannya. Sangatlah tidak etis, jika seseorang melaksanakan buang air besar atau kecil di hadapan orang lain, di tempat terbuka atau di tempat-tempat yang dengan mudah orang lain melihatnya. Buang air kecil maupun besar adalah sesuatu yang tidak semestinya dilihat orang lain, karena di situlah salah satu letak perbedaan manusia dengan binatang.
Bahkan, buang air besar atau kecil bukan hanya pelaksanaannya saja yang mesti disembunyikan, mengatakannya kepada orang lainpun haruslah dengan bahasa yang tersembunyi. Ada banyak ungkapan yang bisa dipakai untuk mengatakan pekerjaan hal ini, seperti “Saya mau ke belakang”, “Saya mau melapor”, “Saya mau ke sungai” dan sebagainya.
10. Ayat ini juga menjadi dasar para ulama menetapkan bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal, karena terjadinya persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Namun demikian, terhadap kata lâmastum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan bentuk persentuhan. Imam Syafi’i berpendapat asalkan terjadi bersentuhan kulit, sementara Maliki dan Hanafi memahami bersentuhan harus dengan syahwat, dan imam Hambali berpendapat jima’ (berhubungan suami isteri).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar