Sikap Yang Harus Dimiliki Murid dan Guru
Dalam Proses Belajar dan Mengajar
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, suatu ketika nabi Musa as. berkhutbah di hadapan kaumnya bani Israel. Kemudian dia ditanya tentang siapa yang paling dalam dan luas ilmunya. Nabi Musa as. menjawab bahwa dialah yang paling dalam dan luas ilmunya. Lalu Allah menegurnya karena tidak mengembalikan jawaban tersebut kepada Allah swt. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa Dia memiliki seorang hamba yang shalih dimana ilmu serta pengetahuaannya lebih luas dan lebih dalam darinya.
Musa as. kemudian meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengan hamba tersebut agar bisa belajar kepadanya. Allah menyuruh Musa as untuk pergi menemui hamba-Nya itu yang menurut riwayat bernama Khidhr,ke tempat pertemuan dua lautan, dengan membawa sesekor ikan yang sudah mati dan diletakan di atas sehelai daun korma. Di tempat mana ikan tersebut hidup dan melompat di situlah tempat hamba Allah tersebut berada.
Kisah perjalanan Musa as. mencari hamba Allah tempat dia akan menuntut ilmu, serta proses belajar yang dilaluinya bersama hamba Allah tersebut diceritakan Allah swt dalam surat al-Kahfi [18]: 60-82.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا(60)فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا(61)فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا(62)قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا(63)قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا(64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا(65)قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا(66)قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67)وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68)قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا(69)قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا(70) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا(71)قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(72)قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا(73)فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا(74)قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا(76)فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا(77)قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا(79)وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا(80)فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا(81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun (60). Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu(61), Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini (62). Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali (63). Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula (64). Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (65). Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(66). Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68). Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."(69). Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu (70). Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (71). Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku (72). Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku (73). Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar (74). Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"(75). Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku."(76). Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."(77). Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (78). Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (79). Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran (80). Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya) (81). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya (82).”
Dari kaca mata pendidikan, kisah perjalan nabi Musa dan Khidhr as. di atas mengandung nilai-nilai pengajaran yang sangat tinggi, terutama terkait dengan sikap seorang pencari ilmu atau murid dan sikap seorang alim atau guru yang bertugas mengajarkan ilmu kepada muridnya. Dari kisah tersebut, dapat diambil pelajaran terkait dengan proses belajar dan mengajar yang mana sosok seorang murid diperankan oleh nabi Musa as. dan sosok seorang guru diperankan oleh Khaidir as. Di antara pengajaran itu adalah;
Pertama, sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam menuntut ilmu.
1. Seorang murid dalam mencari ilmu haruslah merasakan bahwa belajar atau memperoleh ilmu adalah kebutuhannya. Seorang murid idealnya haruslah menjadi pengemis dalam menuntut ilmu. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. kepada gurunya Khidhr as. seperti yang disebutkan dalam ayat 66, “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Bahkan beberapa kali nabi Khidhr as. berupaya menolak nabi Musa as. agar mengurungkan niatnya. Namun setiap kali ditolak, nabi Musa as. terus “merengek” kepada gurunya agar diberi kesempatan untuk belajar.
Begitulah sikap yang mesti dimiliki seorang murid dalam melalui proses balajar, bahwa dia harus menjadi “pengemis” ilmu. Seorang murid yang baik dan sukses adalah murid yang selalu mencari keberadaan ilmu di manapun ia berada. Dia akan sangat sedih dan kecewa ketika sang guru tidak datang atau tidak didapatinya. Begitu juga dia akan sangat kecewa sekiranya pelajaran yang mestinya dia peroleh tidak didapatinya.
2. Seorang murid dalam menempuh proses belajar harus penuh kesabaran. Sebab, proses yang sedang dilaluinya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa rintangan. Setiap saat rintangan dan godaan akan selalu menghadangnya, dan jika dia tidak siap menghadapinya dipastikan proses yang dilaluinya tidak akan berujung kepada kesuksesan. Inilah yang digambarkan melalui ungkapan Musa as. kepada Khidhr as. dalam ayat 69, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar……”.Bahkan saking pentingnya kesabaran dalam menjalankan proses belajar, sehingga dalam kisah tersebut kata sabar disebutkan tidak kurang dari tujuh kali.
Dalam menempuh proses belajar seseorang akan menghadapi berbagai macam godaan dan rintangan, baik dari dalam mapun dari luar diri. Seperti, godaan untuk berhura-hura, bermain, atau gejolak jiwa akibat keterkungkungan selama proses pendidikan. Jika seseorang tidak mampu menahan gejolak dan gangguan tersebut, maka kesuksesan dalam belajar akan susah untuk dicapai dan diwujudkan.
3. Seorang murid harus patuh dan hormat kepada guru. Sebab, dalam proses belajar jika terjadi komunikasi yang kurang baik antara murid dan guru, maka dikhawatirkan proses belajar tidak akan berjalan baik. Oleh karena itu seorang murid harus bisa menjaga sikap agar sang guru tidak merasa dilecehkan, kurang dihargai dan sebagainya. Dengan ungkapan lain, seorang murid harus menghormati guru dan tidak berlaku durhaka kepadanya. Itulah yang digambarkan Musa as. kepada Khidhr as dalam ungkapannya pada ayat 69, …… dan aku tidak akan menentangmu (mendurhakaimu) dalam sesuatu urusanpun”.
Itulah sebabnya kenapa Imam Syafi’i ra. pernah mensyaratkan seseorang akan mendapatkan ilmu jika dia memenuhi lima hal, salah satunya adalah menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dengan sang guru. Sebab, jika guru senang dengan muridnya dan murid juga senang kepada gurunya, sesulit apapun pelajaran itu murid akan mampu mencerna dan menerimanya. Namun sebaliknya, jika murid tidak suka dengan guru dan guru juga tidak respek dengan muridnya, maka semudah apapun pelajaran tersebut sang murid juga tidak akan mampu menyerapnya dengan baik.
4. Seorang murid harus bersikap sportif terhadap kelalaian dan kesalahannya. Dia harus bersedia meminta ma’af, sekaligus jika kesalahan itu harus membuatnya mennerima sanksi maka dia harus bersedia menerimanya dengan ihklas, tulus dan tanpa perasaan mendongkol. Inilah yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia bersalah kepada gurunya beberapa kali, dengan jujur dia mengakui kelalaiannya dan bersedia meminta ma’af. Namun ketika, dia melakukan kesalahan yang sama sebanyak tiga kali dan Khidhr menjatuhkan sanksi kepadanya, Musa pun menerima sanksi tersebut sebagai kompensasi atas kesalahannya tanpa perasaan mendongkol sedikitpun. Begitulah sikap seorang murid yang baik terhadap tindakan gurunya yang bijaksan terhadap kesalahan yang dilakukannya. Kesan tersebut diperoleh dari ayat 78 ketika Khidhr menjatuhkan sanksi kepada musa dalam bentuk perpisahan, Musa as. tidak membantah dan mendongkol apalagi berlaku keras dan kasar kepada gurunya. Bahkan dengan sangat sportif dia mengatkan “sungguh engkau telah banyak memberikan maaf terhadap saya”.
Betapa hari ini kita lihat sikap murid yang jauh dari sportifitas. Ketika seorang guru memberikan sanksi dan hukuman atas kesalahannya sang murid mendongkol, melawan, bahkan memukul serta mengeroyok gurunya. Betapa banyak hari ini kita saksikan, jika seorang murid gagal dalam ujian akibat kelalaian dan kesalahannya sendiri, maka guru dan sekolah yang menjadi sasaran kemarahannya. Sehingga tidak jarang sebuah sekolah dihancurkan, dibakar oleh siswa yang gagal dalam belajar atau ujian mereka.
5. Seorang murid harus berani mengkritik dan memberikan saran kepada guru, jika memang terbukti bersalah. Akan tetapi, tentu kritik dan saran itu disampaikan dalam bahasa yang santun dan dalam ungkapan yang sangat bijaksana seperti yang ditunjukan oleh nabi Musa as. ketika dia menegur nabi Khidhr as. Di mana bahasa yang dipakai Musa as. untuk menegur gurunya adalah ungkapan bertanya atau berandai, yang menunjukan kesopanan dan kelembutan.
Begitulah sikap seorang murid yang mesti dimiliki dalam memberikan kritik atau saran kepada gurunya. Pakailah bahasa yang bagus dan tidak menyakiti perasaanya, sehingga tidak mengganggu komunikasi antara murid dan guru.
6. Seorang murid harus serius serta penuh perhatian terhadap apa yang dijelaskan oleh gurunya. Sehingga guru tidak seringkali mengulangi penjelasan yang sama kepada muridnya. Dengan perhatian dan konsentrasi yang penuh, seorang murid akan memahami penjelasan gurunya dengan cepat. Itulah kesan yang diperoleh dari ayat 70 dan 71, “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu (70). Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (71). Di mana Musa sa. tidak lagi bertanya tentang apa yang dijelaskan gurunya, sehingga begitu dijelaskan mereka langsung berangkat. Kesan memahami secara langsung dapat diperoleh dari penggunaan fa (maka) pada awal ayat 71.
Kedua, adalah sikap yang mesti dimiliki seorang guru dalam mengajar
1. Seorang guru harus memahami kondisi muridnya, sehingga dia tidak bersikap arogan atau memaksakan kehendak kepada muridnya. Guru juga harus mengetahui kemampuan intelektual murid. Itulah kesan yang diperoleh dari ungkapan Khidr pada ayat 67-68, “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
2. Seorang guru harus selalu sabar dan berlapang dada menghadapi muridnya serta memberi ma’af atas kesalahannya. Karena dalam proses belajar dan mengajar seorang guru pasti menemukan banyak hal yang tidak menyenangkan dari muridnya, apakah ucapan, perbutan, sikap dan sebagainya. Di sinilah kesabaran seorang guru dituntut agar proses belajar dan megajar tetap berjalan dengan baik. Sehingga seorang guru tidak menyikapi kelakuan muridnya dengan marah dan emosi atau mengabaikan muridnya begitu saja. Begitulah kesan yang diperoleh dari sikap Khidr yang selalu bersabar menghadapi kesalahan Musa as. dan selalu memberikan ma’af dan kesempatan untuk terus mengikutinya.
3. Seorang guru dituntut untuk selalu menegur setiap kali muridnya berbuat salah. Akan tetapi, teguran haruslah sebijaksana mungkin dan dengan kata-kata yang mendidik serta menyentuh. Seperti Khidr yang menegur Musa dengan kalimat tanya, bukan kalimat yang terkesan melecehkan atau mempersalahkan, namun justru ahkirnya sang murid mengakui kesalahannya sendiri. Dan jika murid tetap melakukan kesalahan yang sama, maka guru semestinya mengambil tindakan yang tegas bahkan kalau perlu memberikan sanksi. Hal ini bertujuan agar sang murid menyadari kesalahannya dan mengambil pelajaran dari padanya serta tidak melakukan kesalahan yang sama untuk masa mendatang. Tentu saja pemberian sanksi oleh guru haruslah dengan pertimbangan yang matang dan jika memang hal itu dianggap perlu untuk dilakukan demi kebaikan seorang murid. Begitulah kesan yang diperoleh dari ayat 72, 75 dan 78. “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku (72). Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"(75). “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”(78)
4. Seorang guru hendaklah memberikan penjelasan terhadap kesalahan dan kekeliruan muridnya. Hal ini bertujuan agar seorang murid mengetahui dan menyadari serta tidak mengulanginya pada masa berikutnya. Sehingga diharapkan seorang guru tidak hanya bisa memarahi dan memberikan sanksi kepada muridnya, namun juga membetulkan keslahan tersebut. Begitulah kesan yang didapatkan dari ayat 78-82.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar