Mendidik Dengan Kasih Sayang
Sebelum nabi Adam as. diturunkan ke permukaan bumi dan menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah, terlebih dahulu Allah mendidik dan mengajarakannya di sorga. Di sorga nabi Adam dididik oleh Allah dengan cara memberikan peringatan kepadanya agar tidak tergelincir dari jalan Tuhan karena godaan syaithan, sehingga membuat mereka terusir dari sorga dan menaggung kesusahan. Pendidikan itu dijelaskan dalam beberapa ayat. Di antaranya surat Thaha [20]:117
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى Artinya: “Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”
Sebelum Adam diturunkan ke bumi, akibat tergoda oleh syaithan, kembali Allah mengingatkannya akan permusuhan abadi antara manusia dan syaithan agar dia tidak mengulangi kesalahan yang sama, ketika sampai di dunia. Seperti yang disebutkan dalam surat al-A’raf [4}22
….وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “…dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
Sementara itu, pengajaran dilakukan Allah kepada Adam as. dengan cara membekalinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan, guna kesuksesan tugas khalifah yang akan diembannya. Bentuk pengajaran itu disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 31
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Begitulah pentingnya pendidikan dan pengajaran bagi manusia, demi suksesnya tugas khalifah yang dibebankan kepadanya. Allah swt. Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tentulah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada Adam as. didasarkan kasih sayang-Nya. Memang itulah prinsip yang utama dalam proses pendidikan dan pengajaran, yaitu prinsip kasih sayang. Seorang guru dalam mendidik dan mengajar muridnya, haruslah dengan dasar kasih sayang.
Akan tetapi, yang mesti dapahami bahwa kasih sayang tidak mesti selalu dalam bentuk kelembutan, wajah penuh senyum, canda tawa serta tidak pernah marah dam memberikan hukuman. Kasih sayang adalah prinsip umum dalam mendidik, namun wujud dan operasionalnya bisa mengambil bentuk beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Kasih sayang bisa dengan senyum, suara yang lembut dan penuh persahabatan. Namun, kasih sayang bisa berbentuk suara yang keras, bentakan, kemarahan, hukuman bahkan sanksi berupa hukuman fisik.
Untuk memehami wujud kasih sayang dalam mendidik, kita bisa melihat bentuknya di dalam al-Qur’an, ketika Allah menggambarkan beberapa pola pendidikan yang berbasis kasih sayang pada beberapa ayat-Nya. Bentuk-bentuk kasih sayang tersebut adalah;
Pertama, memberi nasehat dan pengajaran dengan bahasa yang santun, suara dan nada yang lemah lembut. Seperti yang ditunjukan oleh Ibrahim as. ketika mendidik Isma’il untuk mengeluarkan pendapatnya. Sebagaimana terdapat dalam surat ash-Shafat [37]: 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Begitu juga yang ditunjukan oleh nabi Ya’qub as. ketika menasehati anak-anaknya untuk selalu bertauhid kepada Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 132-133
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ(132)أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ(133)
Artinya; “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam (132). Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.(133).”
Begitu juga yang ditunjukan oleh Luqman, ketika mendidik anak-anaknya, seperti yang disebutkan dalam surat Luqman [31]: 13, 16 dan 17.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Luqman [31]: 13).
Sementara itu, wujud kasih sayang yang lain adalah dengan cara menegur melalui kata-kata yang bernada keras ketika yang dididik itu melakukan kesalahan. Jika memang kemarahan dan suara yang keras dibutuhkan demi kebaikan peserta didik, maka itu mesti dilakukan. Asalkan masih dalam kerangka kasih sayang, yang bertujuan untuk perubahan peserta didik ke arah yang lebih baik. Begitulah yang digambarkan Allah swt ketika mengur nabi Nuh as. atas kekeliruannya, sehingga dengan teguran itulah Nuh kemudian menyadari kesalahannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Hud [11]: 46-47
قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ(46)قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ(47)
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan (46). Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (47).”
Begitu juga yang dilakukan Allah terhadap nabi Musa as. ketika mengurnya dengan teguran yang keras atas kesalahannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Thaha [20]: 83
وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَامُوسَى
Artinya: “Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?”
Nabi Khidr as. juga yang menunjukan hal itu ketika Musa as. melakukan kesalahan dalam proses belajar yang dilaluinya, hamba Tuhan tersebut menegurnya dengan kata dan suara bernada tinggi. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Kahfi [18]: 72 dan 75
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Artinya: “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.”
Oleh karena itu, teguran dengan suara yang keras atau kemarahan seorang kepada peserta didik adalah suatu yang tidak melanggar prinsip kasih sayang. Sebab, hal itu dilakukan tentunya demi kebaikan dan perubahan peserta didik itu sendiri. Bahkan, bentuk kasih sayang yang paling ekstrim adalah dengan memberikan sanksi berupa hukuman fisik kepada peserta didik atas kesalahannya, jika hal itu dipandang perlu untuk dilakukan demi kebaikan peserta didik. Tidak salah jika seorang guru memukul atau memberikan hukuman fisik kepada muridnya, dan tidak pula dikatakan dia telah melanggar prinsip kasih sayang dalam mendidik. Bukankah Allah menunjukan kasih sayang kepada hamba-Nya tidak hanya dengan memberinya nikmat dan kesenangan, namun juga dengan memberinya kesusahan, kesulitan, musibah yang dirasakannya sangat pahit dan getir. Bukankah kita selalu memuji Tuhan (Rabb) Yang Mendidik manusia dengan berbagai cara, kadang dengan kesenangan, kadang melalui kesusahan. Akan tetapi,yang pasti bahwa apapun bentuknya yang datang dari Tuhan, adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya. Kalaupun itu buruk, maka itu hanya karena keterbatasan manusia dalam memandang dan memahami Tuhan Yang Maha Besar.
Kita bisa lihat bagaiman Allah mendidik beberapa nabi dan rasul-Nya dengan memberikan teguran yang berbentuk hukuman fisik. Lihat misalnya nabi Adam as. yang diusir dari sorga karena kesalahannya. Seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 36
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Artinya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”
Nabi Sulaiman as. Allah berikan hukuman berupa penyakit, karena kelalaiannya mengingat Allah akibat kecintaan kepada kudanya. Seperti yang disebutkan dalam surat Shad [38]: 34
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat.”
Nabi Ayyub as. Allah didik terlebih dahulu dengan memberikan kepadanya kekayaan dan kenikmatan yang melimpah, namun kemudian dididik dengan cara sebaliknya berupa kemiskinan, kegetiran hidup serta penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Hal itulah yang disebutkan Allah dalam surat Shad [38]: 41
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
Artinya: “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya; "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.”
Selanjutnya, nabi Yusuf as. meminta kepada Tuhan agar memenjarakannya, karena dia melihat penjara adalah lebih baik baginya demi kemashlahatannya. Seperti yang disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 33
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
Nabi Yunus as. karena meninggalkan kewajiban dakwahnya, Allah memberikan hukuman kepadanya, berupa di utusnya ikan paus untuk memakannya. Sehingga, beberapa lama dia berada di dalam perut ikan, sampai dia menyadari kesalahannya dan bahkan hukumamn itu membuat dia mengingat Allah sangat banyak. Begitulah yang disebutkan dalam surat ash-Shaffat [37]: 42
فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ(142)فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ(143)لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(144)
Artinya: “Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela (142). Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (143), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangki (144)t.”
Begitulah wujud kasih sayang dalam mendidik dan mengajar. Kadangkala dengan penuh kelumbutan dan senyuman yang manis, terkadang mesti dengan suara dan nada yang keras serta amarah, dan terkadang harus dengan memberikan sanksi dan hukuman berbentuk fisik. Akan tetapi, semua itu, tentulah bertujuan demi kebaikan semua peserta didik untuk masa berikutnya.
Jika kita melihat fenomena pendidikan yang terjadi hari ini, maka kita temukan kondisi peserta didik yang sangat memprihatinkan. Murid yang tidak patuh dan segan lagi kepada gurunya. Bahkan, ada sebagian murid yang memukul dan mengeroyok gurunya karena memarahinya. Para guru kehilangan akal, daya dan upaya dalam mendidik muridnya. Guru-guru yang kehilangan wibawa di depan muridnya, dan sebagainya.
Salah satu penyebab utama dari terjadinya hal seperti ini di dunia pendidikan, adalah karena kesalahan pendidik dan peserta didik dalam memahami dan menerapakan makna dan prinsip kasih saynag dalam mendidik. Kasih sayang hanya dipahami dalam bentuk kelemahlembutan, tidak marah dan tidak pernah memberikan hukuman. Sehingga, para murid seringkali tidak menyadari kesalahannya atau bahkan cendrung mengulangi kesalahan yang sama untuk masa berikutnya, karena tidak ada teguran keras atau sanksi yang mesti mereka terima. Hal itu kemudian memberikan dampak kepada para murid berupa keberanian mereka berbuat salah atau melanggar peraturan.
Begitu juga para orang tua yang juga terlibat dalam membantu proses pendidikan, keliru dalam memahami mendidik dengan kasih sayang. Seringkali para orang tua meneror, mencari, mengadukan ke pihak berwajib atau bahkan memukul seorang guru, jika guru tersebut memberikan hukuman fisik kepada anaknya. Sehingga seorang anak merasa dibela dan dibenarkan atas kesalahannya, yang akhirnya seorang anak didik tidak pernah merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Semoga ini bisa menjadi renungan bagi semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar