Proses Belajar dan Mengajar Yang Baik
Menurut Surat ‘Abasa
Surat ‘Abasa [80]: 1-16 adalah surat yang turun untuk menegur Rasulullah saw ketika beliau bermuka masam terhadap seorang sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Ummi Muktum. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah sedang sibuk dan serius menghadapi dan mengajarkan Islam kepada beberapa tokoh Quraisy yang diharapakan Rasul saw keislaman mereka. Sebab, dalam perhitungan beliau jika tokoh-tokoh ini memeluk Islam diperkirakan akan mempercepat perkembangan Islam di Jazirah Arab.
Di saat Rasulullah saw sedang berbincang dan mengajarkan Islam kepada mereka, datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum menyela pembicaraan Rasulullah saw. Dia meminta supaya diajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada Rasulnya. Hal ini dilakukan berkali-kali sehingga membuat Rasulullah saw merasa terusik dan jengkel. Hal itu kelihatan dari raut muka beliau yang masam - walaupun tidak sampai menghardiknya- serta mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum. Maka Allah swt menurunkan surat ‘Abasa [80]: 1-16.
عَبَسَ وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى(2)وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(3)أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(4)أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى(5)فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى(6)وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى(7)وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى(8)وَهُوَ يَخْشَى(9)فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى(10)كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ(11)فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ(12)فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ(13)مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ(14)بِأَيْدِي سَفَرَةٍ(15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ(16)
Artinya: “Dia bermuka masam. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Apakah yang menjadikanmu mengetahui- boleh jadi ia ingin membersihkan diri. Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu. Adapun orang yang merasa tidak butuh. Maka engkau terhadapnya melayani. Padahal tiada celaan atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera. Sedang ia takut. Maka engkau terhadapnya mengabaikan. Sekali-kali jangan, sesungguhnya ia adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia mengingatnya. Di dalam lembaran yang dimuliakan. Ditinggikan lagi disucikan. Di tangan para penulis. Yang mulia lagi berbakti”.
Dari kaca mata pendidikan ayat di atas menggambarkan sebagian dari etika pendidikan. Di mana Rasulullah saw memerankan peran seorang guru sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum memerankan peran seorang murid. Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari ayat di atas untuk kemudian diterapkan dalam proses belajar dan mengajar bagi pihak yang terlibat dalam hal ini adalah guru dan murid. Di antara etika itu adalah;
1. Bagi seorang guru
a. Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
b. Seorang guru harus memberikan penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6, bahwa saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi pera pemuka Quraisy sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya.
Dengan demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
c. Seorang guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik di dunia maupun diakhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
d. Seorang guru tidak hanya dituntut mengajarkan sesuatu yang berguna, tetapi juga yang membawa mereka mengenal dan takut pada Tuhannya. Banyak ilmu yang bermanfaat tetapi malah semakin menjauhkan seseorang dari Tuhannya. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah bagaimana memadukan ilmu yang diajarkan kepada muridnya dengan akidah yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sehingga ilmu yang mereka pelajari tidak hanya bertujuan untuk pengisi otak tetapi juga sebagai makanan hati, jiwa, atau rohani. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat 8-9 surat ‘Abasa.
2. Bagi Seorang Murid
a. Seorang murid harus memahami situasi dan kondisi seorang guru sebelum menghadap, bertanya atau mengajukan sesuatu. Jika seorang guru sedang sibuk dengan suatu urusan yang lebih penting, atau sedang berbincang dengan orang lain, maka tunggulah sampai ia selesai dari urusannya. Sebab, ketika seorang guru sedang sibuk, atau sedang menghadapi orang lain, atau mungkin sedang dalam kondisi emosional yang labil, maka tentunya dia tidak mau kalau ada yang mengganggunya. Jika seorang murid tidak bisa memahami situai dan kondisi guru maka dikhwatirkan seperti yang terjadi antara Nabi saw dan Ummi Maktum. Sehingga proses belajar mengajar menjadi terhalang.
b. Seorang murid semestinya juga memperlihatkan penampilan yang wajah yang menyenangkan di hadapan guru. Sebab, bila kedua belah pihak sama-sama berada dalam kondisi yang saling “menyenangkan” maka tentulah proses belajar mengajar bisa berjalan dengan baik.
c. Seorang murid juga dituntut untuk memberikan penghargaan dan penghormatan yang sama terhadap semua gurunya, tanpa membedakan antara satu dengan yang lain. Jika seorang murid membedakan guru-gurunya tentulah dia akan memilih pelajaran tertentu saja untuk diikuti, dan ini akan berdampak buruk bagi yang bersangkutan.
d. Seorang murid juga dituntut untuk mencari ilmu yang berguna bagi dirinya, baik dunia maupun akhirat. Dia tidak boleh menyibukan diri mencari sesuatu yang tidak bermanfaat apalagi merugikannya. Seperti mempelajari ilmu sihir dan sejenisnya yang bukan hanya tidak berguna tetapi bisa mencelakakannya.
e. Seorang murid tidak hanya dituntut mempelajari dan menguasi ilmu yang berguna, tetapi dituntut menjadi orang yang bertaqwa kepada Tuhannya dengan ilmunya tersebut. Jangan hendaknya seorang menjadi semakin jauh dari Tuhannya dengan ilmu yang dimilikinya.
Itulah bebarapa pengajaran yang bisa diambil dari ayat 1-16 surat ‘Abasa untuk kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan. Sehinga diharapakan terciptanya proses belajar dan mengajar dengan baik dan bukan hanya itu tetapi mampu menciptakan manusia yang memiliki integritas keilmuan, menjadi manusia yang berilmu, beriman dan bertaqwa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar