Senin, 28 Juli 2008

Etika Berkunjung Menurut Al-Qur’an

Etika Berkunjung Menurut Al-Qur’an

Salah satu hal yang membuat hubungan manusia menjadi baik dan harmonis adalah saling mengunjungi atau berziarah antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, tidak jarang kunjungan juga menjadi penyebab keretakan hubungan bahkan permusuhan antara sesama manusia. Oleh karena itulah, al-Qur’an memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kunjungan dilakukan agar kunjungan benar-benar menjadi perekat silaturrahmi dan menciptakan hubungan baik, bukan menjadi pemicu dan penyebab permusuhan dan kebencian. Aturan tersebut Allah tuangkan dalam firman-Nya surat an-Nur [24]: 27-29
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ(27)فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ(28)لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ(29)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat (27), Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (28), Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan (29).”
Dalam ayat di atas Allah swt memberikan tuntunan bagaimana kunjungan ke rumah orang lain semestinya dilakukan. Pertama, Allah swt memerintahkan meminta izin kepada penghuni atau pemilik rumah terlebih dahulu (tasta’nisû). Kata tasta’nisû berasal dari kata uns atau ins yang secara harfiyah berarti lembut, tenang dan harmonis. Manusia disebut ins atau insân karena fitrah manusia cendrung kepada kelembutan, ketengan dan keharmonisan. Kata tasta’nisû berarti meminta ketenangan atau meminta kesediaan penghuni rumah untuk menerima orang yang datang, atau diartikan meminta izin. Hal ini sangat perlu dilakukan agar pemilik rumah tidak didadak atau dikejutkan dengan kedatangan orang lain.
Rumah adalah tempat di mana pemiliknya memperoleh ketenangan, kebebasan dan hak-hak privasinya secara sempurna. Rumah juga menjadi tempat berlindung bagi pemiliknya bukan hanya dari panas, dingin, binatang buas, namun juga dari pandangan dan penglihatan manusia lain dari luar. Oleh Karena itu, tentu saja setiap pemilik rumah akan merasa terganggu bila ada orang lain yang datang ke rumahnya, ketika dia sedang tidak siap menerimanya. Ketidaksiapan penghuni rumah untuk menerima kedatangan orang lain inilah yang terkadang menimbulkan permasalahan, perpecahan, ketidaksenangan atau kecurigaan yang menyebabkan rusaknya hubungan silaturrahmi dan berganti dengan kebencian serta permusuhan. Penyebabnya bisa saja karena pemilik rumah merasa terganggu dengan kehadiran orang lain, atau tamu yang berkunjung merasa tidak dilayani sebagaimana mestinya seorang tamu. Hal itu tentu terjadi karena kunjungan tidak dilakukan menurut ketentuanya, yang salah satu bentuknya adalah meminta ketenangan, kesediaan, atau izin dari pemilik rumah terlebih dahulu atas kunjungan tersebut.
Bentuk tasta’nisû bisa dilakukan dengan menghubungi pemilik rumah sebelum berkunjung baik lewat pesan, surat, telepon, sms dan sebagainya atas kunjungan yang akan dilaksanakan. Hal itu bertujuan agar pemilik rumah mempersiapkan diri menyambut kedatangan tamunya dengan sebaik mungkin. Bentuk tasta’nisû yang lain dengan mengetuk pintu, “mendaham” di depan pintu atau menekan bel yang disediakan di dekat pintu.
Walaupun al-Qur’an hanya memerintahkan meminta izin jika ingin berkunjung dan memasuki rumah orang lain, akan tetapi Rasulullah saw melalui beberapa haditsnya memerintahkan umatnya untuk juga meminta izin jika ingin memasuki rumah sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah apakah saya juga mesti minta izin memasuki rumahku sendiri?” Rasulullah menjawab “Ya engkau harus meminta izin”. Dia berkata “Akan tetapi di dalam rumah itu tidak ada orang lain, selain ibu saya”. Rasulullah berkata, “Apakah engkau ingin melihat ibumu telanjang?”. Dia menjawab “Tidak ya Rasulullah”. “Jika begitu maka mintalah izin”.
Begitu juga suami istri, sebaiknya saling meminta izin jika ingin memasuki rumah atau kamar mereka sendiri. Hal itu bertujuan agar masing-masing tidak terkejut dengan kedatangan yang lain, dan agar masing-masingnya melakukan persiapan untuk menyambut kedatangan yang lain.
Bahkan Rasulullah saw melarang orang tua memasuki kamar anak mereka yang sudah baligh sebelum meminta izin. Begitulah yang dilakukan oleh sahabat Ibn Umar ra. yang tidak pernah masuk ke kamar anaknya yang sudah dewasa sebelum meminta izin kepada anaknya. Hal itu bertujuan untuk menghargai hak-hak privasi sang anak. Sebab, anak yang sudah baligh memiliki hal-hal tertentu yang mungkin tidak boleh diketahui oleh orang tua mereka sendiri.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika seseorang meminta izin dari pemilik rumah untuk masuk, maka sebaiknya dia berdiri di kiri atau di kanan pintu. Janganlah berdiri di depan pintu, apalagi mengintip dari celah pintu atau celah kaca jendela. Sebab, jika dia berdiri di depan pintu berkemungkinan dia akan melihat penghuninya yang mungkin saja dalam keadaan tidak siap atau tidak ingin dilihat orang lain. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seandainya seorang berusaha melihatmu atau mengintipmu ketika engkau sedang tidak ingin dilihat orang lain, kemudian engkau melemparnya dengan batu hingga matanya buta, tidaklah ada beban dosa atasmu”. Begitu juga jika pemilik rumah bertanya tentang siapa yang mengetuk pintu atau siapa yang di luar, maka janganlah dijawab “saya”. Akan tetapi jawablah dengan menyebut nama “fulan bin fulan”secara langsung.
Kedua, adalah memberi atau mengucapkan salam kepada penghuni rumah (wa tusallimû). Perbedaan pendapat ulama terjadi tentang berapa kali salam harus diucapkan kepada penghuni rumah tersebut. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari yang diterima dari Abu Sa’id al-Khudhri menyebutkan bahwa salam sebaiknya diucapakna sebanyak tiga kali. Jika tidak ada jawaban dari penghuni yang ada di dalam rumah, maka pulanglah secepatnya. Disebutkan bahwa sahabat Abu Sa’id al-Khudri berkunjung ke rumah Umar bin Khatab ra. Setelah mengucapkan salam sebanyak tiga kali, namun dia tidak memperoleh jawaban, kemudia dia langsung pulang. Setelah itu Umar mengetahuinya dan bertanya kenapa dia pulang. Abu Sa’id menjawab bahwa Rasulullah saw pernah bersabda” Jika kamu telah meminta izin dan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, namun tidak memperoleh jawaban maka pulanglah secepatnya”.
Ketiga, jika dikatakan orang lain kepada kita atau pemilik rumah itu sendiri untuk pulang, maka secepatnya meninggalkan rumah tersebut. Seringkali hal ini tidak kita perhatikan, di mana ketika kita datang berkunjung kemudian salah satu anggota keluarganya mengatakan bahwa yang dicarinya tidak di rumah, kita cendrung duduk menunggu yang bersangkutan di luar rumahnya. Sebaiknya hal itu tidak dilakukan dan pulanglah secepatnya, karena mungkin saja orang yang dicari sedang tidak ingin diganggu atau ditemui, atau dia mungkin sedang istirahat atau sedang melakukan hal yang sangat penting yang tidak memungkinkan melayani kita. Jika kita terus menunggu di luar rumah, berkemungkinan akan menimbulkan sesuatu yang kurang baik, mungkin diusir atau mungkin kita akan mengetahui penghuni rumah berbohong sehingga dapat merusak hubungan baik selama ini.
Arti pulang secepatnya atau sesegera mungkin untuk meninggalkan rumah yang dikunjungi dipahami dari pemakaian huruf fâ pada kata fa irji’û (maka pulanglah) yang berarti “langsung”. Jangan menunggu atau memikirkan atau juga merasa kecewa ketika disuruh pulang baik oleh orang lain maupun penghuni rumah, karena hal itu adalah sangat baik demi menjaga kesucian masing-masing pihak.
Keempat, silahkan memasuki rumah yang tidak ada penghuninya dan memang disediakan untuk fasilitas umum, seperti hotel, penginapan, wisma dan sejenisnya. Untuk rumah atau tempat tinggal seperti ini memang tidak diperlukan izin dan salam ketika memasukinya, namun diperlukan ketakutan kepada Allah. Sebab, biasanya fasilitas-fasilitas umum seperti hotel dan penginapan seringkali dijadikan tempat bersembunyi dari manusia untuk berbuat maksiat, dengan anggapan tidak ada manusia yang mengetahui atau mengenal pelaku. Namun, Allah mengingatkan bahwa Dia pasti mengetahui hal itu, begitulah pesan-Nya di akhir ayat “….dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan (29)”.

Tidak ada komentar: