Senin, 28 Juli 2008

Ibadah Ritual dan Kepedulian Sosial

Ibadah Ritual dan Kepedulian Sosial

Setiap ibadah ritual (mahdhah) yang diperintahkan Allah kepada manusia selalu memiliki dua dimensi; dimensi vertikal (hablum minallâh), dan dimensi horizontal (hablum minannâs). Misalnya, shalat yang dimulai dengan takbir; mengagungkan Allah swt dan di akhiri dengan salam; mendo’akan orang-orang yang disekeliling. Begitu juga puasa, walaupun wujudnya menahan haus dan lapar sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, namun pada hakikatnya dengan cara demikian, Allah mengajak manusia untuk ikut merasakan apa yang sering dirasakan oleh manusia lain yang hidup dalam kekurangan. Sehingga diharapkan orang yang berpuasa memiliki simpati dan empati kepada penderitaan sesama dan perasaan mau berbagi yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk zakat fitrah. Zakat juga begitu yang walaupun tujuannya mensucikan harta dan jiwa karena Allah, akan tetapi pelaksanaanya adalah bahwa harta itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan begitulah seterusnya. Bahkan pelanggaran terhadap aturan agama yang mengharuskan seseorang membayar denda (dam), bentuknya tetap dalam kerangka kepedulian sosial; yaitu memberi makan orang miskin.
Begitulah pentingnya menyatukan kesalehan dalam ibadah ritual dengan kesalehan sosial. Sehingga al-Qur’an dalam banyak ayatnya mengecam manusia yang rajin beribadah, namun ibadahnya tidak memberi bekas pada kesalehan sosilnya. Seperti dalam surat al-Ma’un [107]: 4-5
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya(5).”
Lalai yang dimaksud di sini adalah tidak mengayati shalat yang dilakukannya. Sebab, dalam ayat di atas Allah swt menggunakan kata(عن) yang berarti dari atau tentang. Jika Allah menggunakan kata (فى) yang berarti pada, maka yang dimaksud Allah adalah dalam pelaksanaan shalat itu sendiri. Dan alangkah banyaknya manusia yang celaka, karena betapa seringkali manusia lalai dalam pelaksanaan shalatnya, kadang waktunya, ragu tentang jumlah rakaatnya, atau lupa dalam bacaannya. Oleh karena itu, yang dimaksud orang shalat yang celaka oleh Allah dalam ayat ini bukannya lalai dalam pelaksanaan, namun tidak menghayati makna shalatnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang shalat tetapi angkuh dan sombong, maka itulah yang celaka. Sebab, shalat pada intinya mengajar manusia untuk bersikap tawadhu’ melalui ruku’ dan sujud. Orang yang shalat namun tidak punya rasa simpati kepada penderitaan orang lain, atau tidak memiliki hubungan yang baik dengan sesama juga dikategorikan celaka, karena shalat mengajarkan kepedulian melalui salam sebagai salah satu rukunnya,begitulah seterusnya.
Bahkan jika kita lihat ayat sebelumnya surat al-Ma’un ayat 1-3, betapa Allah sangat mengecam manusia yang tidak memiliki kepedulian sosial seperti tidak peduli terhadap anak yatim dan orang miskin. Untuk menyebut mereka, Allah menggunakan kata tunjuk dzâlika (itulah); kata tunjuk yang digunakan untuk jarak jauh (lil ba’îd). Hal itu menunjukan bahwa orang yang tidak peduli tehadap orang lain adalah manusia yang jauh dari Allah, sekaligus jauh dari rakmat-Nya dan tentu saja dekat dengan siksa-Nya.
Begitu pentingnya kepedulian tersebut, sehingga Allah swt tidak memaksa manusia harus menjadi orang yang memberi. Akan tetapi, cukup menjadi motivator bagi orang yang mampu untuk memberi, jika ia sendiri tidak mampu. Itulah kenapa Allah menggunkan kata “yahuddhu ‘alâ tha’âmi al-miskîn/ mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin”. Oleh karena itu, yang paling penting dalam kehidupan ini adalah tumbuhnya rasa simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain. Sekalipun belum mampu membantu secara materi setidaknya membantu dengan do’a dan perasaan emapti.
Begitu pentingnya menyatukan kesalehan individual dengan kesalehan sosial, sehingga Islam sangat mencela orang yang shalat dan mengerjakan ibadah mahdhah lainnya, namun tidak memberikan pengaruh terhadap kesalehan sosialnya.
Disebutkan dalam sebuah kisah, bahwa nabi Musa as. suatu ketika ingin menemui Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Di tengah perjalanan, nabi Musa as. dicegat oleh seorang abid. Sang abid berkata kepada Musa as. “Hai Musa mau kemana engkau?”. Nabi Musa menjawab, “Saya ingin menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya”. Sang abid berkata, “Hai Musa! tolong nanti engkau katakan kepada Tuhan, bahwa di sana terdapat hamba-Nya yang sudah puluhan tahun menghabiskan umurnya beribadah kepada-Nya. Dia mengasingkan dirinya di sebuah goa dan menghindarkan manusia banyak demi hanya untuk beribadah kepada Tuhannya. Tanyakan kepada Tuhan, sorga yang mana yang pantas untuknya.”
Setelah nabi Musa as. menemui Tuhan dan berbicara dengan-Nya, maka Musa menyampaikan pesan sang abid tersebut. Setelah mendengarkan uraian Musa tentang abid itu, maka Allah swt mengatakan bahwa tempatnya adalah neraka.
Nabi Musa as. kemudian pulang dan ditengah perjalannya, kembali bertemu dengan sang abid. Nabi Musa as memberitahukan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya, bahwa dia akan masuk neraka. Sang abid kemudian, berfikir bagaimana mungkin dia bisa masuk neraka dengan kesalehan yang dinilainya sangat tinggi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib orang-orang yang tidak pernah beribadah kepada Tuhan.
Sang abid kemudian berkata kepada Musa, “Hai Musa! besok jika engkau kembali menemui Tuhan, tolong katakan kepada-Nya; jika saya mesti masuk neraka, maka tolong jadikan tubuhku ini sebesar-besarnya hingga menutupi pintu neraka sehingga tidak ada manusia lain yang bisa memasukinya. Jika saya harus masuk neraka, biarlah saya sendiri saja yang menjadi wakil semua manusia yang akan masuk neraka.” Nabi Musa as kemudian datang lagi menemui Tuhan dan menanyakan kembali tentang abid tersebut. Allah swt menjawab “Dia akan masuk sorga”.
Ada hal yang menarik untuk diperhatikan dalam kisah di atas, bahwa ketika sang abid dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah beribadah puluhan tahun kepada Tuhan dengan mengasingkan diri dari pergaulan manusia banyak, Allah swt mengatakan bahwa dia adalah penghuni neraka. Akan tetapi, ketika dia berkata dan bersedia mewakili manusia lain untuk masuk neraka, Allah swt mengatakan bahwa dia adalah penghuni sorga. Begitulah pentingnya memadukan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Tidak ada komentar: