Senin, 28 Juli 2008

Ukuran Baik dan Buruk

Ukuran Baik dan Buruk

Dalam surat al-Ma’idah [5]: 100 Allah swt berfirman

قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Katakanlah (hai Muhammad): "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Ayat di atas, jika dicermati akan memunculkan pertanyaan dalam fikiran setiap pembacanya. Mengapa Allah swt mengatakan bahwa tidak sama antara yang buruk dengan yang baik. Bukankah tanpa dikatakan Tuhan pun manusia dengan akalnya mampu mengetahui bahwa yang buruk dan baik itu tidak pernah sama?
Jika kita perhatikan al-Qur’an lebih lanjut, akan ditemukan banyak ayat Allah yang memiliki redaksi yang hampir sama dengan ayat di atas. Misalnya surat al-An’am [6]: 50 “…Katakanlah (hai Muhammad): "Apakah (tidaklah) sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?". Begitu juga surat Fathir [35]: 19, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”. Dan juga ayat 22, “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati….”. Selanjutnya surat az-Zumar [39]: 9, “Katakanlah (hai Muhammad): "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Dan juga dalam surat al-Hasyr [59]: 20, “Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung”, dan selanjutnya.
Jika saja boleh berandai, bila kita yang menerima ayat itu dari Allah swt dengan redaksi seperti yang diungkapkan dalam ayat tersebut, tentulah kita akan menjawab secara spontan kepada Allah, “Ya Tuhan, kami juga tahu bahwa yang buruk dan yang baik itu tidak sama, akal kami juga mengetahui keduanya berbeda”.
Allah swt Yang Maha Bijaksana, tentulah tidak menurunkan suatu firman-Nya, kecuali padanya terdapat hikmah, pelajaran yang maha besar. Sebab, tidak satupun yang berasal dari Tuhan mengandung kesia-siaan. Akan tetapi, tentu hikmah tersebut ditujukan untuk petunjuk dan kebaikan manusia itu sendiri.
Minimal ada dua hakmah dibalik ungkapan Tuhan dengan redaksi seperti yang tercantum dalam ayatnya surat al-Ma’idah [5]: 100 tersebut. Pertama, Allah swt ingin menegaskan kepada manusia bahwa sekalipun manusia mampu dengan akalnya mengetahui yang baik dan buruk dan membedakan keduanya, akan tetapi Allah swt ingin agar untuk mengukur baik dan buruk sesuatu bukanlah akal semata. Sebab, akal manusia tidak konsisten dalam menentukan ukuran buruk dan baiknya sesuatu. Baik dan buruk menurut akal manusia bisa berobah sesuai perubahan waktu, perbedaan tempat, dan sesuai kebiasaan.
Menurut cerita orang yang sudah hidup 40 tahun yang lalu, di negeri kita (Minangkabau) sangat buruk dipandang ketika perempuan memakai celana panjang sekalipun longgar. Perempuan yang memakainya akan menjadi buah bibir masyarakat, dan dipergunjingkan di semua tempat karena buruknya hal tersebut. Namun, hari ini kita melihat pakaian perempuan sudah melebihi itu; calana pendek, sempit dan menampakan bagian-bagian aurat yang semestinya ditutupi, akan tetapi hal seprti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa dan bahkan sudah berobah menjadi “tren” kehidupan wanita. Kita tidak lagi merasa risih dan terganggu dengan pemandangan seperti itu, bahkan seperti sudah menjadi sesuatu yang baik dan benar. Begitulah jika ukuran baik dan buruk diserahkan kepada akal, akan berbeda pandangannya seiring terjadinya perubahan waktu. Sesuatu yang dulu menurut akal manusia buruk, ketika zamannya sudah berbeda bisa saja menjadi baik.
Begitu juga, ukuran baik dan buruk menurut akal bisa berobah sesuai perbedaan tempat. Di daerah pedesaan, di mana masyarakatnya masih memegang teguh nilai adat dan agama, teramat buruk jika dilihat sepasang manusia yang bukan muhrim berjalan berduaan. Semua orang akan memandang dengan pandangan “miring” dan akan menjadi perbincangkan masyarakatnya. Akan tetapi, di daerah perkotaan apalagi di kota-kota besar, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berjalan berduaan di tempat yang ramai, berpegangan tangan, bahkan lebih dari itu sekalipun masyarat tidak merasakan sesuatu yang salah, bahkan sudah menjadi pemandangan yang biasa atau bahkan dianggap sesuatu yang wajar dan benar. Begitulah penilaian akal terhadap baik dan buruk, yang jika tempat berbeda ukurannya juga tidak sama.
Selanjutnya, baik dan buruk menurut akal bisa berbeda sesuai kebiasaan. Misalnya, semua orang sepakat mengatakan sampah sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan. Namun, bagi pekerja yang setiap hari memungut sampah (bukan bermaksud merendahakn profesi pemungut sampah), sampah tidak lagi dipandang dan dirasakan sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan, karena keseharianya menghadapi sampah. Sehingga, kebiasaanya dengan aroma dan kotornya sampah, membuat dia tidak lagi merasa jijik terhadapnya.
Begitulah keterbatasan akal manusia menentukan ukuran baik dan buruknya sesuatu. Oleh karena itu, Allah swt ingin mengajak manusia untuk mengembalikan ukuran baik dan buruknya sesuatu, kepada al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya. Sebab, apa yang sudah ditetapkan al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya tidak akan pernah berobah sampai kapanpun, dan di manapun. Jika al-Qur’an mengatakan bahwa berjudi itu haram, sampai kiamat pun hukumnya akan tetap haram. Jika al-Qur’an mengatakan berzina itu haram, di manapun, kapanpun hukumnya tetap haram sekalipun sudah dilakukan oleh semua orang dan sudah dianggap kebiasaan orang banyak. Agaknya itulah rahasianya kenapa di akhir ayat tersebut Allah menegaskan “…sekalipun banyaknya yang buruk itu mencengangkanmu…”. Sesuatu yang haram akan tetap haram sekalipun telah dilakukan semua orang. Sebab, banyaknya orang melakukan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Hikmah yang lain dari ungkapan Allah dalam ayat tersebut adalah, Allah ingin mengajak manusia untuk membiasakan diri melakukan kebaikan dan menajauhi keburukan. Sebab, kebaikan tidak berarti sebagai kebaikan tanpa adanya pembiasaan diri melakukannya. Tentunya semua orang Islam mengetahui membaca al-Qur’an, shalat tahajjud, bersedekah dan sebagainya sebagai kabaikan yang dijanjikan balasan yang besar di sisi Allah. Akan tetapi, kenapa umat Islam malas melakukannya atau sangat sedikit yang melakukan hal-hal yang seperti disebutkan? Jawabannya, karena mereka tidak membiasakan diri melakukannya.
Barangkali itulah rahasianya kenapa Rasulullah saw menyuruh umatnya dalam sebuah hadits, “Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, jika berumur sepuluh tahun mereka tidak juga shalat maka pukullah mereka(beri sanksi)”. Anak yang masih berumur tujuh tahun atau sembilan tahun, tentu belum diberati beban hukum secara syari’at (belum mukallaf). Shalat ataupun tidak, bagi mereka sama saja karena tidak ada beban dosa. Namun, yang ditujukan dalam hadits tersebut adalah upaya penanaman kebiasaan shalat atau beribadah bagi seorang anak semenjak usia dini. Sebab, seseorang bila sudah biasa melaksanakan shalat semenjak kecil, sampai dewasa hal itu tidak akan bisa dia tinggalakan betapapun dia dipaksa untuk meninggalkannya. Sebaliknya orang yang tidak pernah shalat, akan sangat susah untuk melaksanakannya pada masa dewasanya sekalipun diiringi pemaksaan atau diancam sanksi dan hukuman.
Adalah suatu hal yang pasti bagi yang biasa olah raga setiap harinya jika tidak berolah raga satu hari saja, badannya akan terasa sakit dikarenakan mininggalkan kebiasaaanya. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah berolah raga, sekali melakukannya badannyapun akan terasa sakit karena melakukan sesuatu yang bukan kebiasaannya. Begitu pentingnya pembiasaan diri sehinga dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, bahwa manusia akan mati dibimbing oleh kebiasaannya. Dalam pepatah minang disebutkan “ketek tabao-bao, gadang taraja-raja, tuo tarubah tido”.

Tidak ada komentar: