Senin, 28 Juli 2008

Ciri-Ciri Orang Yang Taqwa

Ciri-Ciri Orang Yang Taqwa

Taqwa adalah salah satu kata yang sangat pupoler dan sering diucapkan oleh manusia, khususnya umat Islam. Taqwa adalah suatu posisi terhormat bagi seorang hamba di hadapan Allah (Q. S Al-Hujurat [49]: 13). Bahkan banyak perintah dan larangan Allah yang diturunkan kepada manusia dengan tujuan menjadikannya sebagai orang yang taqwa, seperti Q.S al-Baqarah [2]: 83. Namun demikian, taqwa bukanlah sekedar diucapkan dan bukan juga gelar yang bisa disandang setiap orang. Manusia yang bertaqwa memiliki beberapa ciri yang membuatnya berhak menyandang gelar tersebut. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 133-35.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(134)وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ(135)
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (133). (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (134). Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (135)”.
Dalam ayat di atas disebutkan beberapa ciri orang yang bertaqwa dan berhak atas ampunan dan sorga Tuhan yang lebarnya langit dan bumi. Yaitu;
1. Orang yang memberi baik ketika lapang maupun ketika sempit
Seorang yang bertaqwa tidak pernah memandang dan membedakan waktu memberi atau kepada siapa akan memberi. Bagi yang bertaqwa kebiasaan memberi adalah bagian dari kehidupannya, baginya tidak ada bedanya ketika lapang atau sempit, senang atau susah bahkan dia akan memberi kepada siapa yang membutuhkannya sekalipun kepada orang yang dibencinya.
Ketika seseorang memiliki kelebihan harta, tentu memberi tidaklah sesuatu yang terlalu sulit. Namun, akan berbeda halnya jika yang dimiliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pemberian di saat seperti itu adalah pemberian yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Agaknya itulah bentuk ihsân yang disebutkan Allah dalam beberapa ayat-Nya ( di antaranya Q.S. an-Nahl [16]: 90).
2. Orang yang mampu menahan amarahnya
Marah adalah bagian dari fitrah manusia seperti halnya sifat sayang, benci, dan berbagai sifat lainnya yang memenuhi hati manusia. Dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan “Manusia bila pada tempat yang seharusnya marah tidak marah, bahkan dia tetap tertawa berarti sama dengan keledai, namun jika manusia selalu marah bahkan diwaktu yang seharusnya senyum atau tertawa berarti sama dengan seekor babi yang terluka”. Akan tetapi, yang terbaik adalah sikap marah yang terkendali. Sebab, jika marah tidak terkendali syaithan akan dengan mudah menjerumuskan manusia ke jalan kesesatan hingga akhirnya manusia berbuat melampaui batas, bahkan membunuh jiwa seperti yang terjadi terhadap dua putera Adam; Habil dan Qabil. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw bersabda.
ليس الشديد بالصرعة ولكن الشديد من يملك نفسه عند الغضب
Artinya: “Bukanlah orang yang kuat itu orang yang mampu membanting orang lain dengan tenaganya, namun yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah”
Agaknya menahan amarah sangat tepat sebagai salah satu ciri orang yang taqwa, karena kata taqwa itu sendiri berarti terpelihara. Orang yang mampu menahan dan mengendalikan dirinya dari amrah tentulah orang yang terpelihara; terpelihara dari kesalahan, menyakiti orang lain, membunuh orang lain yang akhirnya memeliharanya dari kesengsaraan dan kecelakaan hidup. Jika diperhatikan dalam kehidupan manusia, ternyata yang seringkali membuat manusia celaka adalah ketidakmampuannya menahan dan mengendalikan diri.
3. Memaafkan kesalahan orang lain
Maaf berarti seseorang menghapus kesalahan orang lain terhadapnya. Apa yang telah dilakukan orang lain berupa kejahatan, tanpa permohonan maafpun manusia yang bertaqwa telah memberi maaf. Sikap ini lahir sebagai wujud kasih sayang Tuhan yang tercurah kepadanya, karena dia sendiri telah terlebih dahulu memperoleh maghfirah (ampunan) dari Tuhan berupa penghapusan dosa dan kesalahannya terhadap-Nya. Jika Allah bersedia menghapus dosa dan kesalahannya, tentu diapun mau bersedia menghapus kesalahan orang lain terhadapnya. Hal itulah yang tercermin dalam firman Allah surat an-nur [24]: 22
....وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “…dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Begitu juga dalam surat at-Taghabun [64]: 14
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
4. Orang yang berbuat baik (ihsân)
Kata ihsân secara harfiyah berarti berbuat kebaikan, namun kandungan makna ihsân jauh lebih tinggi dari sekedar berbuat baik. Jika kita kembali merujuk ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pemberian maaf kepada orang lain, dijumpai tiga bentuk pemberian maaf, seperti yang terdapat dalam surat al-Ma’idah [5]: 13
....فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Pertama, disebut ‘afwu (maaf) yang bararti kesediaan seseorang untuk menghapus kesalahan orang lain terhadap dirinya, akan tetapi masih tetap meninggalkan bekas. Ibarat tulisan yang terdapat di selembar kertas, tentu akan meninggalkan bekas setelah dihapus. Kedua, disebut shafh (secara harfiyah berarti luas/lapang) yang berarti kesediaan seseorang memberi maaf kepada orang lain dengan cara menutup lembaran lama dan membuka lagi lembaran yang baru, karena lembaran kertas atau halaman-halaman buku disebut juga dengan shafh atau shafhat yang berasal dari akar kata yang sama. Ketiga, disebut ihsân (berbuat baik) yang berarti kesediaan seseorang memberi maaf kepada orang lain bukan hanya menghapus kesalahan orang lain, atau menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru, akan tetapi membalas kejahatan dan kesalahan orang lain terhadapnya dengan kebaikan.
Oleh karena itulah Allah menjadikan orang yang ihsân (muhsinîn) tersebut sebagai orang yang disayangi-Nya, karena ketinggian sikap maafnya berupa kesediaan membalasi kejahatan dengan kebaikan. Ini adalah sikap yang ditunjukan oleh para nabi dan rasul Allah serta para wali-Nya. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa nabi Muhammad saw selalu dihadang dan dilempar oleh seorang Quraisy setiap kali mau shalat subuh ke masjid al-Haram. Suatu pagi orang yang biasa melempar beliau tidak kelihatan sehingga pagi itu nabi shalat tanpa menghadapi gangguan laki-laki tersebut. Beliau kemudian bertanya tentang keberadaan orang tersebut dan ternyata dia sedang sakit. Maka setelah shalat beliu bergegas menjenguknya, bahkan beliau adalah orang pertama yang menjenguknya. Orang itu menjadi sangat terharu dan kemudian menyatakan keislamannya di depan Rasulullah saw. Begitulah ihsân yang pernah ditunjukan Rasulullah saw. Sehingga layaklah kiranya dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw mengatakan bahwa mereka yang berbuat ihsân adalah manusia yang masuk sorga Tuhan tanpa perhitungan.
5. Orang yang selalu bertobat dari kesalahan yang pernah dilakukan
Orang yang taqwa bukan berarti manusia yang sudah lepas dan bebas dari dosa dan kesalahan. Adalah wajar kalau setiap manusia berdosa dan bersalah karena dia bukanlah seorang malaikat. Namun demikian, orang yang bertaqwa ketika melakukan kesalahan atau dosa atas kelalaianya, segera mereka kembali ke jalan Tuhan melalui tobat. Tobat tersebut dilakukannya dengan cara ingat akan Allah dan menyadari apa yang telah dilakukannya adalah suatu pelanggaran terhadap-Nya, lalu dia minta ampun atas dosa dan kesalahan tersebut serta berjanji kepada Allah tidak akan mengulangi kesalahan yang sama pada waktu berikutnya, akhirnya dia mengiringinya dengan amal-amal shalih sebagai pengganti dan penebus kesalahan yang telah dilakukan.