Senin, 28 Juli 2008

Berbakti Kepada Orang Tua

Berbakti Kepada Orang Tua

Perintah untuk mengabdi dan berbakti kepada orang tua, terdapat pada tiga surat dalam al-Qur’an;
1. Surat an-Nisa’ [4] ayat 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
2. Surat al-Isra’ [17] ayat 23-24
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا(23)وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا(24)
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (23), Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (24).”
3. Surat Luqman [31] ayat 13-15
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(13)وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ(15(
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (13), Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14), Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (15).”
Dari ketiga surat yang memerintahkan berbakti dan mengabdi kepada kedua orang tua di atas, ada hal yang menarik untuk dicermati. Di antaranya pertama, bahwa perintah berbakti dan mengabdi kepada orang tua, disebutkan setelah perintah untuk mengabdi dan menyembah Allah serta memurnikan tauhid dan pengabdian terhadap-Nya. Hal itu mengandung sebuah isyarat bahwa pengabdian dan ibadah seseorang hamba kepada Allah tidak akan sempurna atau bahkan tidak akan diterima, kalau dia tidak berbakti dan mengabdi kepada kedua orang tuanya. Begitu juga syukur kepada Allah tidak akan diterima, jika dia tidak bersyukur kepada kedua orang tuanya. Itulah sebabnya Rasullah saw ketika ditanya tentang dosa-dosa besar, jawabannya ada tiga jenis dosa besar, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu, durhaka kepada kedua orang tua, dan lari dari medan peperangan.
Kedua, berbuat baik kepada keduanya (ihsân) pada ketiga surat di atas, Allah ungkapkan dengan menggunkan huruf ba ( wa bi al-wâlidaini ihsâna) yang berarti “dengan”. Dalam gramatika bahasa Arab tidak salah jika kata ihsân dirangkaikan dengan ilâ (kepada) atau li (untuk). Namun demikian, ketiga huruf tersebut memiliki kedalaman arti yang berbeda. Penggunaan bi (dengan) menunjukan arti menempel dan melekat (ilshâq) yang berarti adanya kedekatan antara anak dengan orang tua. Memang antara anak dan orang tua haruslah selalu dekat, tentu tidak selalu dalam bentuk fisik akan tetapi hati dan perasaan. Sedangkan ilâ (kepada), biasanya menunjukan jarak, dan tentu ini tidak boleh terjadi antara anak dengan orang tuanya. Seorang anak harus selalu dekat dan berada di hati orang tua, begitupun orang tua harus selalu dekat dengan sang anak. Jika digunkan li (untuk) hal ini berarti bahwa bakti dan pengabdian yang dilakukan seorang anak adalah bertujuan untuk kebaikan orang tuanya, tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tuntunan ayat yang menyebutkan “…siapa yang bersyukur maka berarti dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri….” (Q.S. an-Naml [26]: 40. Artinya bakti dan pengabdian kepada orang tua adalah untuk kebaikan sang anak itu sendiri.
Ketiga, dalam ketiga ayat tersebut Allah menggunkan kata ihsân yang maknanya jauh lebih tinggi dari sekedar berbuat baik dan lebih mulia dari berbuat adil. Misalnya ihsân dalam ma’af, seperti yang digambarkan Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 134 dan al-Ma’idah [5]: 13, bahwa ihsân adalah membalas kejahatan dengan kebaikan. Sementara, Ihsân dalam ibadah adalah seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa suatu hari Jibril datang kepada Rasulullah saw bertanya tentang îmân, islâm, dan ihsân. Rasulullah saw menjawab “ihsân adalah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya…”. Dengan demikian orang yang ihsân dalam ibadah adalah orang yang ketika berhadapan dengan Allah, dia tidak melihat dirinya, namun yang dilihatnya adalah Allah. Dan orang yang berlaku ihsân kepada manusia adalah orang yang ketika berhadapan dengan orang lain, yang dilihatnya hanyalah kemashlahatan orang lain dan tidak melihat untuk dirinya. Ketika berhadapan kepentingannya dengan kepentingan orang lain, dia lebih memilih mendahulukan kepentingan orang lain dan mengorbankan kepentingannya. Jika dia membutuhkan sesuatu, dan saat yang sama orang lain juga membutuhkannya, maka dia memilih untuk mendahulukan pemenuhan kebutuhan orang lain. Sehingga orang yang ihsân adalah orang yang memperlakukan orang lain lebih baik daripada perlakuan kepada diri sendiri.
Jika adil diartikan mengambil yang semestinya menjadi hak kita tanpa mengurangi sedikitpun, dan memberi yang semestinya menjadi hak orang lain tanpa mengurangi sedikitpun, maka ihsân adalah mengambil lebih sedikit dari yang semestinya diambil sebagai hak, dan memberi lebih banyak dari yang semestinya diberikan. Sehigga berlaku ihsân kepada kedua orang tua adalah memberikan bakti, pengabdian atau perlakuan kepada mereka melebihi perlakuan kepada diri sendiri. Mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang tua di atas kepentingan dan kebutuhan diri sendiri, tetapi tentu dalam batas-batas kemampuan seorang anak.
Keempat, jika kedua orang tua atau salah satunya sudah berusia lanjut dan berada dalam pemeliharaan sang anak, maka janganlah pernah sang anak mengatakan perkataan yang menyakiti atau menyinggung perasaan mereka. Hal ini mungkin terjadi disebabkan kondisi manusia jika sudah memiliki umur lanjut seringkali bersikap seperti anak kecil yang kadangkala membuat hati orang lain termasuk sang anak menjadi kesal dan marah. Kekesalan akibat ulah orang tua yang sudah berusia lanjut tersebut tidak boleh menyebabkan sang anak mengeluarkan perkataan yang menyakitkan atau membuat mereka tersinggung. Sebagai ganti dari ucapan itu maka ucapkanlah perkataan yang mulia, sekalipun tidak akan membuat mereka senang minimal tidak menyakiti perasaan mereka. Seorang anak haruslah selalu mengingat kondisi serupa yang dulu pernah di alami kedua orang tuanya mulai semenjak mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik, memenuhi kebutuhan anak-anak mereka, yang kesemua itu jauh lebih sulit dan lebih hebat dari apa yang sedang di hadapi saat ini terhadap orang tuanya.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa nabi Sulaiman as bersama bala tentaranya pernah berjalan menelusuri kerajaannya. Hingga suatu hari sampailah dia dan tentaranya di tepi samudera. Saat itu ombak sangat besar, lalu Sulaiman menyuruh angin berhenti berhembus agar laut kembali tenang. Kemudian, Suliaman as menyuruh tentaranya, Jin untuk menyelam ke dasar samudera melihat apa yang ada di sana. Setelah lama berkeliling di dasar lautan, jin pun naik ke permukaan karena tidak menemukan apapun.
Akan tetapi, tidak lama kemudian muncullah sebuah kubah permata dari dasar samudera tersebut. Nabi Sulaiman as. sangat heran dengan kubah permata itu dan meminta kepada Allah agar dibukakan pintunya. Atas izin Allah pintu kubah itu terbuka dan Sulaiman as. melihat seorang pemuda sedang beribadah di dalam kubah tersebut. Kemudian Sulaiman as. bertanya bagaimana dia bisa mendapatkan karamah seperti itu. Pemuda tersebut menjawab, “Dulu saya punya orang tua yang sudah sangat tua, keduanya saya rawat dan pelihara tanpa pernah menyakiti hati mereka. Jika mereka ingin mandi saya mandikan, dan jika mereka ingin makan saya suapkan dengan kasih sayang, begitulah seterusnya hari demi hari saya jalani, hingga pada suatu hari ayah saya meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, dia berdo’a “Ya Tuhan panjangkanlah umur anak saya serta jadikanlah dia hamba yang selalu beribadah kepada Engkau siang dan malam.
Kemudian saya melanjutkan perawatan ibu saya dengan penuh kasih sayang tanpa pernah menyakiti hatinya, seperti halnya perlakuan kepada ayah saya. Sampai suatu hari ibu sayapun meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia berdo’a kepada Tuhan, “Ya Tuhan tempatkanlah anakku di suatu tempat tidak di langit dan tidak di bumi, serta tempatkan dia di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh jin dan manuisa.”
Setelah itu saya pergi ke tepi sebuah samudera dan saya melihat sebuah kubah permata. Kubah itu kemudian terbuka sehingga sayapun memasukinya. setelah berada di dalam kubah tersebut, saya tidak tahu berada dimana, apakah saya sedang berada di bumi atau di langit sampai waktu yang saya sendiri tidak tahu lamanya.
Nabi Sulaiman as bertambah heran, kemudian bertanya lagi “Bagaimana engkau makan dan minum? dan dari mana rezeki engkau peroleh?”. Pemuda tersebut menjawab “Jika saya lapar maka tumbuhlah sebatang pohon di dalam kubah ini dan berbuah, kemudian saya memakannya buahnya hingga kenyang. Begitu juga jika saya merasa haus muncullah sebuah mata air di dalam kubah ini yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Ketika saya memakan buah pohon dan meminum air tersebut, maka hilanglah rasa haus dan lapar serta hilanglah rasa kantuk saya, sehingga saya selama di dalam kubah ini tidak pernah tidur dan selalu beribadah kepada Tuhan. Nabi Sulaiman bertanya kembali, ”Lalu bagaimana engkau mengetahui siang dan malam?”. Pemuda itu menjawab, ”Jika fajar terbit, kubah ini berwarna putih maka saya tahu hari siang, dan jika matahari terbenam kubah ini berwarna gelap maka saya tahu hari malam”.
Begitulah pengabdian kepada orang tua tanpa pernah menyakiti hati mereka, akan membawa seseorang mendapatkan karamah dan kemulian dari Allah. Dalam sebuah haditsnya Rasullah saw mengingatkan bahwa ridha Alah tergantung kepada ridha kedua orang tua.
Kelima, jika kedua orang tua berbeda keyikinan dengan sang anak, kemudian orang tua memaksa sang anak untuk menyekutukan Allah, maka tidak wajib bagi seorang anak mematuhi mereka. Akan tetapi, ketidakpatuhan sang anak terhadap hal yang demikian, tidak berarti kewajiban berbuat baik menjadi hilang pula. Seorang anak harus tetap berbuat baik kepada orang tuanya sekalipun berbeda keyakinan dengan mereka. Persoalan keyakinan yang salah adalah urusan mereka dengan Allah, sedangkan persoalan berbuat baik kepada mereka adalah urusan sang anak dengan orang tua dan Allah.
Dikisahkan pada bahwa suatu ketika nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhan tentang siapa yang akan mendampinginya di sorga nanti. Allah swt kemudian menyuruh Musa ke suatu tempat menemui seorang pemuda yang akan menjadi pendampingnya di sorga. Berangkatlah nabi Musa ke tempat yang ditunjukan Allah kepadanya untuk menemui pemuda yang disebutkan Allah itu. Ketika sampai di tempat yang dimaksud, nabi Musa as bertemu seorang pemuda yang sedang membelai dan mencium dua ekor babi, kemudian babi itu dimandikannya satu persatu dengan kasih sayang. Setelah itu, kedua babi tersebut diberinya makan seperti layaknya manusia terhormat.
Nabi Musa as merasa heran kenapa Allah mengatakan bahwa pemuda seperti inilah yang akan mendampinginya di sorga. Kemudian nabi Musa as bertanya kepada pemuda itu, ”Kenapa engkau memelihara dan memperlakukan babi seperti itu? Bukankah ia binatang yang haram?”. Pemuda itu menjawab, “Benar, mereka ada dua ekor babi, akan tetapi mereka adalah orang tua saya, namun disebabkan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan, Allah kemudian merobah bentuk mereka menjadi babi. Akan tetapi urusan dosa dan kesalahan adalah tanggung jawab mereka kepada Allah, sementara kewajiban saya adalah berbakti kepada mereka sekalipun rupa mereka sudah berubah seperti babi”. Nabi Musa baru menyadari bahwa begitu besarnya ganjaran bagi anak yang berbuat baik kepada kedua arang tuanya.
Keenam, selalu mendo’akan kedua orang tua, baik ketika masih hidup maupun setelah mereka meninggal dunia. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw mengatkan bahwa salah satu dari tiga amal manusia yang tidak akan pernah putus adalah anak yang shalih yang selalu mendo’akan kedua orang tuanya. Adapun do’a untuk kedua orang tua, diantaranya seperti yang disebutkan dalam surat al-isra’ [17] : 24 “…Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Tidak ada komentar: