Membangun Shilaturrahmi
Manusia, seperti yang dijelaskan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 28 adalah makhluk yang diciptakan dalam keadaan lemah. Bahkan, isyarat tersebut dengan jelas juga Allah sebutkan dalam salah satu ayat-Nya dari wahyu pertama yang diturunkan, surat al-‘Alaq [96]: 2, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari ‘Alaq. ‘Alaq secara harfiyah artinya sesuatu yang menggantung (oleh karena itu, lintah di dalam bahsa Arab disebut juga dengan ‘alaq). Hal itu mengisyaratkan bahwa semenjak awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain disebabkan kelemahan manusia itu sendiri. Tidak ada satupun pekerjaan atau aktifitas, sekecil apapun yang bisa dilakukan manusia tanpa bantuan dan keikutsertaan pihak lain. Tertawa atau senyum adalah suatu pekerjaan atau aktifitas yang sangat kecil dan sederhana, namun jika itu dilakukan sendiri atau tanpa adanya orang lain, maka tersenyum atau tertawa sendiri bisa menjadi “petaka” bagi yang bersangkutan.
Oleh karena itulah, manusia dalam kehidupannya memiliki fitrah dan kecendrungan untuk hidup secara bersama dan berkelompok. Jika saja ada manusia yang cendrung hidup sendiri atau individualis, maka dia telah keluar dari fitrah kemanusiaannya. Dan kecendrungan serta keinginan untuk membangun kelompok ini diwujudkan manusia melalui jalan membangun shilaturrahmi.
Shilaturrahmi adalah bagian yang sangat penting dari ajaran Islam. Sebab, tujuan kedatangan Islam adalah menebarkan rahmat (kasih sayang) terhadap seluruh alam dan makhluk. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali kata amal shalih yang seringkali disandingkan dengan kata iman. Akan tetapi, Allah swt. tidak menyebutkan secara rinci apa saja yang termasuk amal shalih itu. Namun demikian, bukan berarti amal shalih tersebut tidak disebutkan jenisnya di dalam al-Qur’an. Di mana Allah swt. memberikan isyarat bahwa untuk mengetahui bentuk-bentuk amal shalih tersebut, perlu melihat kata yang menjadi lawan dari amal shalih itu. Di dalam al-Qur’an kata amal shalih dilawankan Allah swt dengan kata fasâd (kerusakan). Hal itu terdapat dalam surat Shad [38]: 28
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
Artinya: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih sama seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?.”
Ayat ini memberikan isyarat bahwa rincian amal shalih itu dapat diketahui dengan merujuk semua bentuk perbuatan fasâd (berbuat kerusakan) yang ada dalam al-Qur’an. Dan di dalam al-Qur’an, minimal ada 11 perbuatan yang disebutkan sebagai perbuatan fasad (kerusakan), di antaranya adalah memutuskan tali shilaturrahmi. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 27
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
Dengan demikian, menjalin shilaturrahmi adalah bagian dari amal shalih. Di dalam al-Qur’an setidaknya terdapat 11 pula janji Allah swt. terhadap pelaku amal shalih, di antaranya adalah bahwa Allah menjanjikan mereka dengan pahala dan balasan yang tiada akan pernah terputus. Sehingga, tiadalah ketakutan dan kecemasan bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2] 277
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Bagaimana mungkin orang-orang yang suka bershilaturrahmi dan memiliki hubungan yang baik dengan sesama akan dihinggapi rasa sedih, cemas dan takut. Sebab, dia tidak memiliki musuh atau siapapun yang akan mendatangkan bahaya kepadanya. Ke manapun dia pergi dan di manapun dia berada, tentu semua orang bisa menerimanya dengan baik. Hal ini, tentu saja berbeda dengan orang yang tidak suka bershilaturrahmi, di mana hidupnya akan terasa sempit dan barangkali saja dia akan diliputi rasa sedih, cemas dan takut di manapun dia berada. Karena, dia tidak memiliki banyak teman, di tambah lagi jika memiliki banyak musuh yang bisa saja sewaktu-waktu mengancam keselamatanya.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah saw. bersabda
من أحب أن يبسط له في رزقه وينسأ له في أثره فليصل رحمه
Artinya: “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah dia selalu bershilaturrahmi (HR. Bukhari dan Muslim dari an-Nasa’i).
Berdasarkan hadits di atas, setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh bagi yang bershilaturrahmi. Pertama, dilapangkan rezekinya oleh Allah. Pengertian dilapangkan rezekinya bisa dalam arti bahwa Allah memberikan langsung rezeki yang berlimpah kepadanya sesuai janji Allah dalam surat Fushshilat [41]: 8, di mana mereka akan mendapatkan balasan yang sangat besar dan tiada akan terputus. Pengertian dilapangkan rezeki yang lain adalah bahwa dengan bershilaturrahmi, menjalin persahabatan, memperbanyak kawan, relasi, jaringan dan sebagainya akan membuka kesempatan dan peluang kerja. Jika seorang memiliki banyak teman dan relasi tentulah semangat dan kesempatan usaha akan terbuka lebar, akan berbeda halnya dengan orang yang tidak punya banyak teman dan relasi, apalagi punya banyak musuh, bukan hanya merasakan sempitnya lapangan usaha, namun peluang dan kesempatan yang sudah di depan mata pun bisa hilang begitu saja.
Kedua, orang yang suka bershilaturrahmi dan membangun hubungan baik akan dipanjangkan umurnya oleh Allah. Pengertian dipanjangkan umurnya bisa beberapa bentuk, diantaranya orang yang selalu membangun shilaturrahmi dan memilki banyak teman serta hubungan yang baik dengan sesama, sekalipun dia telah meninggal dunia orang lain tetap mengenang dan menyebut-nyebut namanya sebagai orang baik. Bahkan, orang lain masih merasakan kalau dia seakan masih hidup bersama mereka. Berbeda halnya dengan orang yang suka memutuskan shilaturrhami dan memiliki banyak musuh, di mana dengan sangat cepat sekali orang lain melupakannya, bahkan tidak mau mengenang dan menyebut namanya lagi. Pengertian lain dari dipanjangkan umurnya adalah bahwa jika seseorang selalu bershilaturrahmi dan memilki hubungan yang baik dengan sesama serta mempunyai banyak teman dan sahabat, setidaknya dia akan terhindar dari ketegangan hidup (stress). Bukankah stress seringkali memperpendek umur seseorang? Karena, kematian bahkan bunuh diri seringkali dipicu oleh stress dan prustasi menghadapi hidup.
Dengan bershiltaurrahmi setidaknya seseorang bisa menghilangkan rasa stress dengan bercanda dan berbagi cerita melalui banyaknya teman. Jika saja umur tidak bisa diperpanjang, setidaknya “kematian cepat” bisa tercegah dengan banyak bershilaturrahami.
Hal ini saya sampaikan, dengan melihat gaya dan pola hidup sebagian besar masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang sudah mulai tercabut dari nilai-nilai agama dan budaya yang sudah lama dianut bangsa ini. Di mana semangat shilaturrahmi, kebersamaan, gotong royong sudah mulai pudar terutama bagi masyarkat yang tinggal di daerah perkotaan yang sudah cendrung hidup materialisme dan individuisme. Kesibukan menghadapi rutinitas setiap hari, pergi pagi pulang malam, ditambah lagi bentuk rumah yang sudah dipagar dengan sangat tinggi sekali, sehingga jangankan dengan masyarakat di luar sana, dengan tetangga sendiripun shilaturrahmi dan kumunikasi sudah jarang terjadi. Dampaknya, semangat shilaturrahmi dan membangun ukhuwah sudah mulai terabaikan. Betapa seringnya terjadi, di mana sebagian kelompok masyarakat saling tidak mengetahui apa yang terjadi dan menimpa tetanggnya sendiri.
Oleh karena itu, marilah kita kembali sama-sama membangun shlitaurrami demi terwujudnya fitrah manusia yang cenderung hidup bersama dan bersifat komunal bukan sendiri atau individual.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar