Senin, 28 Juli 2008

Beramal Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Beramal Untuk Orang Yang Sudah Meninggal
Adalah sudah menjadi polemik yang cukup panjang dan alot antara para ulama dan fuqaha, persoalan beramal untuk orang yang sudah meninggal dunia serta sampai atau tidaknya pahala baginya. Sebagian berpendapat boleh dan pahalanya akan sampai dan diterima oleh yang telah meninggal dunia. Namun, sebagian yang lain menolak bahkan cendrung menyesatkan pendapat yang mengatakan bahwa boleh beramal untuk orang yang telah meninggal. Mereka mengatakan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesia-siaan belaka. Mereka beralasan dengan surat an-Najm [53]: 39
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Alasan yang lain adalah hadits Rasulullah saw.
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya: “Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka putuslah semua amal perbuatannya keculai tiga perkara; yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanffat, dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya”.
Inilah di antara dalil yang menjadi pegangan kelompok yang tidak membenarkan adanya amal atau perbuatan baik bagi orang yang telah meninggal dunia. Sebab, ketika seorang telah mati, maka semua amalnya terputus. Sehingga, tidak ada peluang bagi orang lain untuk mempersembahkan bagian pahala kepadanya.
Alasan yang lain adalah, bahwa jika saja semua orang yang hidup bisa memberikan pahala kepada orang yang telah meniggal dunia, tentulah dengan mudah dosa-dosa mereka menjadi berkurang, ringan atau bahkan habis karena dihapus kebaikan orang lain yang beramal untuk dirinya.
Namun demikian, tulisan sederhana ini akan mencoba melihat persoalan ini dari sudut pandang yang berbeda. Karena, penulis berangkat dari pijakan bolehnya beramal untuk yang sudah meninggal dan pahalanya akan sampai kepada yang bersangkutan.

A. Bolehnya Beramal Untuk Orang Yang Telah Meninggal
Sebagaimana disebutkan bahwa surat an-Najm [53]: 39, dan hadits Rasulullah di atas adalah alasan yang dikemukan oleh kelompok yang tidak membenarkan beramal untuk orang yang telah meninggal dan pahalanya tidak akan sampai. Agaknya, mereka memahami kedua dalil tersebut secara harfiyah, sehingga kesimpulannya agak sedikit sempit dan cendrung “radikal”. Mungkin kita perlu melihat dalil-dalil lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama. Di antaranya surat Al-Hasyar [59]: 10
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Ayat ini mengisyaratkan, bahwa hubungan antara orang mukmin yang hidup dengan yang sudah meninggal tidak terputus. Oleh karena itulah, dalam surat Muhammad [47]:19, Allah swt juga memerintahkan Rasul-Nya untuk memintakan ampun bagi segenap orang beriman, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup bersama beliau.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”
Begitu juga bahwa nabi Nuh as. dan Ibrahim as. diperintah oleh Allah untuk berdo’a kepada-Nya. Seperti yang terdapat dalam surat Ibrahim [14]: 41
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).”
Begitu juga dalam surat Nuh [71]: 28
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
Artinya: “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.”
Meminta ampun terhadap dosa dan kesalahan, apakah untuk untuk diri sendiri atau orang lain, tentu saja tidak hanya dalam bentuk ucapan istighfâr atau ungkapan do’a. Namun, permintaan ampun ada beberapa bentuk yang salah satunya adalah mengiringinya dengan amal shaleh atau kebaikan. Dengan demikian, beramal atau berbuat kebaikan untuk orang yang telah meninggal dunia adalah salah satu bentuk permintaan ampun (istighfâr) bagi orang yang telah meninggal. Sehingga, tidaklah salah kiranya jika orang yang masih hidup beramal untuk yang sudah meninggal dan pahalanya akan sampai. Sebab, kebaikan yang dilakukan orang lain untuk dirinya adalah hasil dan buah dari usahanya sendiri ketika masih hidup.
Dengan demikian, tidak ada salahnya jika orang yang masih hidup beramal untuk orang yang telah meninggal dunia. Seperti menghadiahkan bacaan al-Qur’an, tahlil, bersedekah apalagi berdo’a. Karena, pahalanya akan mengalir dan sampai kepada yang telah meninggal tersebut.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, juga disebutkan;
سأل رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي ماتت, أفينفعها إن تصدقت عنها؟ قال, نعم
Artinya: “Bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia, apakah ada gunanya seandainya saya bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab: Ya berguna untuk ibumu”.
Begitu juga hadits Rasulullah saw yang diterima dari ‘Aisyah ra.
عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا قال للنبي صلي الله عليه وسلم, إن أمي افتليت (ماتت فجأة) وأراها لو تكلمت تصدقت, فهل لها أجر إن أتصدق عنها؟ قال:نعم. (متفق عليه)
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra. Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw. sesungguhnya ibu saya tekah meningggal secara mendadak, dan saya yakin jika dia bisa berbicara pastilah dia akan bersedekah, apakah ibu saya mendapat bagian pahala seandainya saya bersedaqah untuk ibu saya? Rasulullah saw. menjawab: Ya, ada pahala untuk ibumu.”
Sementara, surat an-Najm [53]: 39 yang dijadikan alasan kalangan yang membatalkan amal bagi yang meninggal, agaknya perlu juga difahami sebab turunnya. Menurut mufassir, ayat tersebut turun tatkala Walid bin Mughirah masuk Islam dan diejek oleh orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik tersebut berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama kita yang lama, kami akan menanggung siksamu di akhirat”. Maka Allah menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakannya. Bukan berarti menghilangkan perbuatan orang lain terhadap dirinya.
Menurut Ibnu Thaimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa, dia berkata, “Bahwa do’a tidak sampai kepada orang yang mati dan perbuatan baik tidak sampai kepada orang yang mati adalah pendapat ahli bid’ah”. Sekalipun pendapat ini saya dinilai agak berlebihan dan cendrung juga “radikal”.

B. Beberapa Dalil Lain Yang Mendukung Bolehnya Beramal Untuk Orang Yang Meninggal Dan Pahalanya Akan Sampai
Di samping dalil ayat dan hadits di atas, yang membenarkan beramal untuk orang yang meninggal ada lagi dalil lain. Di antarnya.
Pertama, shalat jenazah yang merupakan ibadah wajib kifayah bagi setiap muslim dan didasarkan hadits mutawatir. Di dalam pelaksanaan shalat jenazah tersebut, berisi do’a dan permintaan ampun bagi yang telah meninggal dunia. Bahkan pada takbir keempat, do’a yang berisi permohonan ampunan bukan hanya untuk yang sedang dishalatkan, namun juga untuk semua orang beriman yang telah meninggal dunia. Jika saja amal dan kebaikan orang yang masih hidup tidak berguna bagi yang telah mati, maka tentulah tidak akan diwajibkan shalat jenazah.
Kedua, adalah menjadi rukun terakhir setiap khutbah jum’at mendo’akan seluruh muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Jika saja do’a dan amal untuk orang yang meninggal tidak ada gunanya bagi yang meninggal, tentu tidak akan ada rukun khutbah dalam bentuk seperti itu.
Ketiga, Rasulullah saw mengajarkan setiap orang yang melakukan ziarah kubur atau bahkan melewati suatu kuburan agar mengucapkan salam dan do’a.
السلام عليكم يا أهل الديار من المؤمنين والمؤمنات وإنا إن شاء الله بكم لاحقون أسأل الله لنا ولكم العافية
Artinya: “Keselamatan atas kamu wahai ahli kubur dari mukmin laki-laki dan perempuan, sesungguhnya kami apabila telah dikehandaki Allah pasti menyusul kamu, dan kami memohon kesejahteraan bagi kami dan kamu.”
Jika saja do’a atau kebaikan yang dilakukan oleh orang yang masih hidup tidak bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia, tentulah Rasulullah saw. tidak akan mengajarkan do’a seperti itu.
Berdasarakan dalil-dalil di atas, dapat dipahami bahwa beramal untuk orang yang sudah meninggal adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Dan pahalanya akan sampai dan mengalir serta diterima oleh yang telah meninggal dunia. Sekalipun, ada sebagian pihak yang tidak setuju dan memiliki pemahaman yang berbeda.
Oleh karena itu, saya kira yang lebih bijak adalah tidak saling menyalahkan apalagi saling mengkafirkan. Bagi yang berkeyakinan bahwa melakukan amal dan kebaikan untuk yang meninggal adalah boleh dan pahalanya sampai, silahkan melakukanya tanpa harus mengatakan yang tidak ikut adalah sesat dan keliru. Tentu saja perbuatan tersebut harus didasarkan ilmu dan keyakinan yang benar. Bagi yang tidak percaya akan sampainya pahala bagi yang telah meninggal dunia dari kebaikan orang yang masih hidup, silahkan meninggalkannya tanpa harus mengatakan orang yang berbeda sesat dan melakukan hal yang sia-sia. Karena dengan demikian, persatuan dan kesatuan umat akan lebih terjaga, daripada menyibukan diri dengan perpecahan terhadap hal-hal yang tidak prinsip.
Masing-masing pihak dipersilahkan beramal sesuai keyakinan tanpa harus saling menyalahkan atau mengkafirkan. Karena kebenaran mutlak ada di tangan Allah. Begitu juga persoalan pahala dan balasan, adalah otoritas Tuhan semata.

Tidak ada komentar: