Senin, 28 Juli 2008

Jadilah ‘Ibâd ar-Rahmân

Jadilah ‘Ibâd ar-Rahmân

Setiap manusia, cendrung mendakwahkan dirinya sebagai hamba Tuhan. Namun, hamba Tuhan bukanlah sebuah ungkapan sederhana yang mudah diucapkan. Akan tetapi, ia merupakan suatu posisi (maqâm) yang didapatkan melalui serangkaian sikap hidup yang terpuji. Dalam surat al-Furqân [25]: 63- 75, Allah swt menyebutkaan tentang ciri-ciri manusia yang disebut hamba Tuhan (‘ibâd ar- Rahmân).
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا(63)وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا(64)وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا(65)إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا(66)وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا(67)وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا(68)يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا(69)إِلَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(70)وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا(71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا(72)وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا(73)وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا(74)أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا(75)
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (63). Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (64). Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal (65). Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (66). Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (67). Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (68). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina (69). kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang (70). Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (71). Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (72). Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta (73). Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (74). Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (75).”
Dalam ayat tersebut disebutkan 12 ciri manusia yang berhak disebut hamba Tuhan, yaitu;
1. Orang-orang yang apabila berjalan di muka bumi, maka mereka berjalan dengan rendah hati.
Sikap rendah hati biasa disebut dengan tawâdhu’, suatu sikap tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain, sekalipun di mata manusia dia lebih baik dari yang lain atau mungkin adalah yang terbaik. Lawan dari sikap rendah hati (tawâdhu’) adalah sombong atau takabbur, suatu sikap selalu merasa lebih baik dari orang lain sekalipun itu hanya perasaannya saja. Sikap takabbur ini sejatinya adalah sikap yang dimiliki iblis, di mana ketika disuruh sujud kepada Adam ia menolak dengan alasan merasa lebih mulia dan lebih baik dari Adam (Q.S. al-A’râf [7]: 12 dan Shad [38]: 75-76). Sikap takabbur juga yang menyebabkan iblis keluar dari rahmat Tuhan. Sehingga manusia yang sombong adalah orang yang jauh dari rahmat Tuhan, sementara yang rendah hati adalah dekat dengan rahmat-Nya, dan itulah manusia yang disebut ‘ibâd ar-Rahmân.
2. Orang-orang yang apabila bertemu dan disapa oleh orang jahil mereka mengatakan perkataan salâma (keselamatan).
Ungkapan ayat ini mengandung beberapa maksud; pertama, bahwa hamba Tuhan adalah orang yang jika bertemu dengan orang bodoh, atau orang-orang yang memiliki sikap-sikap negatif seperti pemarah, mudah tersinggung, pendendam, suka berburuk sangka dan sebagainya, mereka tetap mengucapkan salâm (assalamu’alaikum) bila bertemu. Tanpa peduli apakah mereka akan menjawabnya atau malah mengejeknya dengan perkataan yang tidak baik. Ucapan salâm akan selalu terlontar dari mulut hamba Tuhan tanpa harus memandang objek atau dengan siapa dia berhadapan.
Kedua, bahwa hamba Tuhan adalah mereka yang apabila bertemu dan berkumpul dengan orang bodoh atau orang-orang yang memiliki sikap-sikap negatif lainnya, mereka pergi meninggalkan mereka, namun tetap dalam kerangka salâma. Artinya, sekalipun dia berlalu meninggalkan orang-orang yang dianggap tidak baik dan dikawatirkan akan membawabanya ke jurang dosa, namun kepergianya tidak membuat orang lain merasa tersinggung atau direndahkan derajatnya. Sehingga dia pergi dengan tenang dan selamat sementara orang yang ditinggalkan juga merasa tenang dan tidak merasa hina karenanya.
Ketiga, Kata salâma memiliki maksud, bahwa hamba Tuhan jika berdialog, berdiskusi atau berbicara dengan orang yang bodoh, maka dia tetap berbicara sesuatu yang memberikan ketenangan dan kebahagian (salâma). Pembicaraannya tidak bermaksud merendahakan, melecehkan, atau menghakimi mereka dengan posisi yang rendah. Sehingga, pembicaraannya dengan orang bodoh bukan saja memberikan ketenangan dan kedamaian, tetapi juga bermuara pada ajakan terhadap manusia untuk menjadi manusia yang tunduk dan patuh kepada tuhan (muslim).
3. Orang-orang yang tidak melewati malam keculai dengan ibadah kepada Allah
Kata sujjada dan qiyâma dipahami sebagian ulama dengan shalat tahajjud. Sehingga yang dimaksud hamba Tuhan adalah mereka yang setiap malam selalu melaksanakan shalat tahajjud karena Allah. Namun demikian, sebagian yang lain memahami kata sujjada dan qiyâma dengan melakukan sesuatu ibadah yang bertujuan mendekatkan diri dan membuktikan ketundukan dan pengabdian kepada Allah. Dengan demikian, ibadahnya bukan hanya dalam bentuk shalat malam, namun bisa juga dalam bentuk belajar, membaca, menulis atau bertafakkur. Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata kepada muridnya “bagi seorang awam yang bangun di tengah malam, maka ibadah yang terbaik untuknya adalah shalat tahajjud, sedangkan bagi seorang alim yang bangun tengah malam, maka ibadah terbaik baginya adalah membaca dan menulis.” Sebab, jika shalat yang dilakukan maka kabaikannya hanya untuk yang melakukannya saja, namun jika menulis sesuatu maka kebaikannya untuk banyak orang sampai akhir zaman atau sampai tulisan itu masih ada dan dibaca manusia.
4. Orang yang selalu berdo’a untuk dijauhkan dari azab jahannam
Jika dilihat kondisi hamba Tuhan dalam tiga ciri yang sebelumnya disebutkan, yaitu sikap rendah hati, memiliki hubungan yang sangat baik dengan manusia, dan memiliki ketaatan yang tinggi kepada Allah, maka sudah selayaknya dia berada dalam posisi terhormat, baik di mata manusia maupun di mata Tuhan. Namun hal itu, tidak membuat dia menjadi terlalu optimis akan memperoleh rahmat dan sorga Tuhan. Hal itu ditunjukannya dengan sikap selalu merasa bahwa dia tidak pantas menerima rahmat Tuhan dan masih tetap berhak atas siksa neraka-Nya. Begitulah manusia yang disebut hamba Tuhan, dia tidak pernah merasa sebagai “pemegang kunci sorga”, sehingga berhak mengatakan orang lain kafir dan penghuni neraka. Dia tetap merasa kalau neraka itu diciptakan untuknya, sekalipun perbuatannya sudah sangat terhormat dan berhak atas kemulian dari Allah dan sesama manusia.
5. Orang-orang yang apabila memberi tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu kikir
Sikap dari hamba Tuhan yang lain adalah mencintai kesederhanaan, termasuk ketika memberi sesuatu, apakah dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga atau orang lain. Seperti yang diingatkan Allah dalam surat al-Isrâ’[17]: 29, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. Sebab, manusia yang melampai batas kewajaran adalah saudara syaithan, seperti yang disebutkan Allah dalam surat al-Isrâ’ [17] :26-27
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا(26)إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا(27)
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (27)”.
Jika manusia sudah dekat dengan syaithan apalagi sudah menjadi saudaranya, tentulah manusia tersebut jauh dari rahmat Tuhan. Sebaliknya manusia yang bersikap sederhana, tentu saja bagian dari orang yang mendapatkan rahmat Tuhan (‘ibâd ar-Rahmân).
6. Orang-orang yang tidak menyeru (menyembah) tuhan selain Allah
Hamba Tuhan bukan saja memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia dan taat kepada Allah, namun juga memiliki aqidah yang murni dalam ibadah kepada Tuhan/ Ilah ( tauhid uluhiyah). Bentuk kemurnian aqidah dalam ibadah tersebut, adalah berlaku ikhlas semata karena Allah. Hamba Tuhan adalah mereka yang ketika beribadah, selalu berlaku ikhlas dan jauh dari motivasi lain selain mengharap keridhaan Allah. Sehingga salah satu ciri mereka seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah orang yang di tengah malam melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Sebab, waktu tengah malam adalah waktu paling khusu’ dan paling ikhlas melaksanakan ibadah, karena saat itu tidak ada manusia yang mengetahui dan melihatnya.
Orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dikategorikan sebagai syirik kepada Allah. Dan Allah menjanjikan kecelakaan yang besar untuknya, seperti yang disebutkan dalam surat al-Mâ’ûn [107]: 6. Sehingga dipastikan orang yang berlaku ria dalam beribadah adalah manusia yang jauh dari rahmat Tuhan. Sebaliknya yang ikhlas atau memurnikan aqidahnya dalam beribadah adalah bagian dari orang yang mendapat rahmat Tuhan (‘ibâd ar-Rahmân).
7. Orang-orang yang tidak membunuh jiwa yang dihormati kecuali dengan alasan yang benar
Hamba Tuhan adalah orang yang memiliki rasa kasih dan sayang (rahmân), sehingga dia tidak mudah melenyapkan dan menghabisi jiwa makhluk. Penghormatannya terhadap jiwa dan kehidupan, bukan hanya untuk manusia saja tetapi juga semua makhluk Tuhan, termasuk hewan dan tumbuhan. Seorang hamba Tuhan tidak akan pernah membunuh binatang tanpa alasan yang benar. Begitu juga dia tidak akan pernah memotong pohon atau bahkan rumput sekalipun, kalau tidak ada alasan yang benar. Begitulah kasih sayang ibâd ar-Rahmân terhadap sesama ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, jika terjadi pembalakan hutan di suatu kawasan, maka dipastikan pelakunya bukan hamba Tuhan. Begitu juga, jika terjadi pemusnahan terhadap jenis hewan dan binatang, pastilah pelakunya bukan hamba Tuhan. Dan jika terjadi pembunuhan terhadap manusia tanpa alasan yang benar, maka pelakunya juga dipastikan bukan hamba Tuhan, begitulah seterusnya.
8. Orang-orang yang tidak melakukan zina (dosa besar)
Hamba Tuhan adalah orang yang takut terhadap dosa, baik besar maupun kecil. Dan ketika mereka melakukan dosa besar, secepat mungkin mereka kembali kepada Allah dengan cara bertaubat dan beramal shalih. Dan jika mereka berbuat dosa kecil, maka kesalahan itu mereka tebus dengan melaksanakan kebaikan yang banyak, sehingga Allah mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan yang mereka lakukan. Hamba Tuhan bukannya manusia yang tidak pernah bersalah dan berdosa, namun mereka adalah orang yang tidak pernah larut dalam satu kesalahan dan dosa. Mereka dengan cepat menyadarinya dan memohon ampunan kepada Tuhan serta menggantinya dengan amal kabaikan.

9. Orang-orang yang tidak melakukan persaksian palsu
Hamba Tuhan adalah manusia yang jujur, tidak pernah mengeluarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya. Yang tampak dipermukaan baik ucapan, perbuatan dan sikap, itulah yang ada di dalam hatinya. Hamba Tuhan tidak hidup dengan ditutupi “topeng kebohongan” karena dia hidup realistis dan apa adanya. Sebab, kebohongan adalah salah satu yang membuat manusia mendapatkan siksa Tuhan yang tempatnya bagian terbawah dari api neraka (asfali min an-nâr). Dan sebaliknya orang jujur adalah manusia yang mendapat rahmat Tuhan (‘ibâd ar-Rahmân).
10. Orang-orang yang apabila melewati orang yang sedang berbuat sia-sia (lagha) mereka berlalu dengan penuh kemuliaan
Hamba Tuhan adalah manusia yang bukan hanya menghindarkan diri dari dosa, namun mereka selalu menghindarkan diri dari perbuatan yang sia-sia (lagha). Perbuatan yang disebut lagha, bukannya perbuatan yang mengandung dosa, akan tetapi perbuatan yang boleh (mubâh) namun tidak bermanfaat, seperti bermain suatu permainan yang hanya untuk menghabiskan waktu, atau mengatakan sesuatu yang tidak perlu dan tidak ada gunanya. Sehingga Allah menyebutkan salah satu ciri sorga dan penghuninya adalah tidak akan di dengar di dalamnya sesuatu yang lagha (tidak berguna). Firman-Nya dalam surat al-Ghasyiyah [88]: 10-11
فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ(10)لَا تَسْمَعُ فِيهَا لَاغِيَةً(11)
Artinya: “Dalam syurga yang tinggi (10). Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna (11).”
Hal itu menunjukan, bahwa orang yang disebut hamba Tuhan adalah manusia yang memiliki wibawa dan harga diri, serta kehormatan yang tinggi. Itu ditandai dengan sikapnya yang tidak pernah mengatakan, atau melakukan sesuatu yang tidak berguna. Sehingga, mereka adalah bagian dari penghuni sorga yang mendapatkan rahmat Tuhan, seperti yang juga disebutkan dalam surat al-Mu’minûn [23]: 3, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”.
11. Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka tidak seperti orang yang tuli atau buta
Hamba Tuhan adalah manusia yang mendengarkan dan memperhatikan dengan baik tanda-tanda kebesaran Tuhan yang datang kepadanya. Jika diberi pelajaran dia mendengarkan dan memperhatikan dengan penuh keseriusan dan mengambil pelajaran daripadanya untuk dijadikan pedoman hidup demi kebahagaianya. Dan jika diperlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran Tuhan, maka mereka penuh perhatian kepadanya, tidak seperti orang yang buta. Mereka disamakan dengan orang buta karena mereka melihat dengan baik, tetapi tidak ada getaran jiwanya sedikitpun terhadap yang sedang dilihat itu. Sehingga dalam surat al-Anfâl [8]: 2 Allah menyebutkan di antara ciri orang yang sempurna imannya adalah “……mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
12. Orang yang selalu berdo’a “Ya Tuhan kami berilah berilah kami istri dan anak-anak yang menjadi penyejuk mata, dan jadikan kami imam bagi orang yang bertaqwa”
Hamba Tuhan adalah manusia yang memiliki fantasi kemajuan untuk masa depannya dan keturunannya. Mereka tidak hanya berupaya menjadi yang terbaik di mata Allah dan manusia, namun mereka juga berupaya menjadikan keturunan mereka menjadi yang terbaik di mata Allah dan manusia. Bahkan kalau bisa lebih baik dari apa yang telah mereka peroleh sekarang. Dengan demikian, hamba Tuhan adalah orang yang juga mampu menciptakan hamba-hamba Tuhan lainya yang lebih baik untuk masa dan generasi berikutnya.

Tidak ada komentar: